Tidak semua menyambut baik kedatangan Sinovac di Indonesia. Beberapa tokoh publik lebih memilih untuk membayar denda daripada diharuskan mendapat vaksin Sinovac.
Kritik pertama justru datang lewat anggota DPR dari koalisi pemerintahan sendiri, yaitu Ribka Tjiptaning. Ribka adalah seorang dokter yang sempat membuka praktek di Jakarta. Ia juga menjadi salah satu anggota DPR di komisi kesehatan. Ia mengkhawatirkan efektifitas dan keamanan vaksin Sinovac.
“Kebetulan saya juga banyak teman di China, sebetulnya Sinovac ini istilahnya apa nih, barang rongsokan lah buat di sana itu, orang China sendiri sudah jarang pakai yang Sinovac sebetulnya,” ujarnya dalam rapat kerja Komisi IX bersama dengan Menteri Kesehatan, Kepala BPOM, dan Direktur Utama PT Biofarma (Persero), Rabu (13/1).
Ia juga menambahkan, seandainya Sinovac memberi efek buruk pada masyarakat, akibatnya bisa fatal. Jika yang terkena dampak presiden (penerima pertama vaksin), setidaknya ada tim kedokteran yang siap menolong presiden. Namun, bagaimana dengan masyarakat awam?
“Tadi dibilang kalau Pak Jokowi jadi contoh demonstratif begitu, disuntik sebagai orang pertama, kita semua tahu, kalau misalnya itu benar Sinovac, tapi kalau ada apa-apa (kepada Jokowi) dokter yang mengikuti berapa, rumah sakit siap, tapi nanti (warga) yang di ujung sana, orang kena Covid saja susah cari rumah sakit. Dan bisa saja itu bukan Sinovac yang dikasih, kita tidak tahu semuanya, jangan ada dusta di antara kita,” tambahnya.
Faktanya, banyak catatan untuk vaksin Sinovac. Efikasi di Bandung dari vaksin Sinovac ‘hanya’ 63,5 persen. Sementara itu, dari Brazil, seperti dilansir dari media dalam negeri dan luar negeri (detikhealth, BBC News, Al Jazeera) uji efikasi Sinovac terakhir hanya 50,4 persen. Meski masih lulus standard WHO, tidak bisa dibilang angka itu menggembirakan. Selain itu, meski telah diklaim efek jangka pendeknya hanya ringan-sedang seperti mual, nyeri, demam dan mual, belum ada penelitian mengenai dampak Sinovac dalam jangka panjang.
Menanggapi kritik Ribka Tjiptaning, tim Pakbob.id segera meminta tanggapan dari Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Hasto ternyata tidak mempermasalahkan kritik Ribka. Ia mengungkapkan, seharusnya masyarakat membaca secara utuh tanggapan Ribka yang tidak melenceng dari ideologi partai.
“Berkaitan dengan pernyataan Saudari Ribka Ciptaning, jika melihat pernyataan secara menyeluruh sebagai satu kesatuan pesan, yang disampaikan adalah mengingatkan garis kebijakan politik kesehatan yang seharusnya kedepankan kepentingan dan keselamatan masyarakat. Mbak Ribka Ciptaning menegaskan agar negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat. Jangan sampai pelayanan kepada rakyat, seperti yang nampak dari pelayanan PCR, di dalam praktek dibeda-bedakan. Bagi yang bersedia membayar tinggi, hasil PCR cepat sedangkan bagi rakyat kecil seringkali harus menunggu 3 hingga 10 hari, hasil PCR baru keluar. Komersialisasi pelayanan inilah yang dikritik oleh Ribka Ciptaning. Sebab pelayanan kesehatan untuk semua, dan harus kedepankan rasa kemanusiaan dan keadilan,” jelas Hasto.
Selain dari Ribka Tjiptaning, kritikan juga datang dari aktivis kemanusiaan, Haris Azhar. Seperti yang ia sampaikan dalam ig storynya, ia meminta kejelasan siapa yang akan bertanggung jawab seandainya vaksin Sinovac memberi dampak negatif.
“Seharusnya pemidanaan diberlakukan jika vaksin gagal: ada efek samping, salah sasaran, lambat datang, pungli alias tidak gratis,” begitu ungkap Haris Azhar.
Untuk menjawab kritik Haris Azhar, tim litbang Pakbob.id melakukan penelusuran langsung pada Perpres nomor 99 tahun 2020 yang menjadi dasar dari kebijakan vaksinasi di Indonesia. Di dalam perpres itu, kami tidak/belum menemukan pasal mengenai pihak yang bertanggung jawab langsung seandainya vaksin Sinovac memiliki efek samping. Meski demikian, dijelaskan bahwa Kemenkes menjadi ‘panglima utama’ dalam distribusi vaksin di Indonesia. Sementara itu, dalam pasal 11 Perpres tersebut, hanya dikatakan bahwa kontrak pemerintah dapat dibatalkan dalam keadaan Force Majeur (keadaan kahar). Namun tidak ada pasal yang menjelaskan sanksi pada Bio Farma seandainya vaksin Sinovac memiliki efek samping selain yang telah diteliti BPOM.
Untuk perbandingan, di negara lain telah dibuat UU darurat agar siapa pihak yang bertanggung jawab seandainya vaksin tidak berfungsi atau membahayakan menjadi jelas. Brazil misalnya, sudah memiliki perjanjian tidak akan menuntut produsen virus jika ada kejadian yang tak diinginkan. Berikut adalah kutipan pernyataan dari Presiden Brazil, Jair Bolsonaro:
“Dalam kontrak Pfizer (Pfizer adalah salah satu produsen vaksin di Brazil-Red) sangat jelas: ‘Kami tidak bertanggung jawab atas efek samping apa pun,” “ujar Bolsonaro.
“Jika Anda berubah menjadi buaya [setelah minum vaksin], itu masalah Anda,” katanya. Jika Anda menjadi manusia super, jika seorang wanita mulai menumbuhkan janggut atau jika seorang pria mulai berbicara dengan suara seperti wanita, mereka tidak akan ada hubungannya dengan itu.” paparnya.
Pada akhirnya, kita memang masih ada di situasi tidak menentu meski vaksin sudah mulai diujicobakan. Dilihat dari sisi positifnya, tidak hanya kita saja yang mengambil resiko menggunakan vaksin yang sudah tersedia. Negara seperti Turki dan Brazil juga telah menggunakan Sinovac dan bersiap dengan resikonya. Setidaknya, kita harus melihat Sinovac sebagai sebuah solusi untuk keluar dari krisis kesehatan ini. Tanpa ada inisiatif kita akan terus berlarut larut dalam masalah Korona. Pada akhirnya, besar harapan vaksin Sinovac menjadi solusi. Semoga!