MELUKIS MASA DEPAN…BUKAN HANTU..(WRITING DISCUSSION)

Waktu Baca: 3 menit

Di antara komika, Arie Kriting mungkin salah satu yang paling disegani. Ia bisa saja melawak lewat kekurangan fisiknya atau dengan stereotypingnya sebagai orang Papua. Tapi ia menolak menjadi badut, ia mencoba menjadi seorang komedian yang serius. Ia memprotes dengan lawakannya. Ia penuh dengan ide ide cerdas dan memanaskan kuping seraya memancing gelak tawa. Ketika ia hadir dengan film pertamanya, banya orang penasaran. Wajar, ia adalah komika kesekian yang mendapat kesempatan untuk menjadi seorang filmmaker.

Seharusnya ‘Pelukis Hantu’ tidak berakhir di layanan streaming. ‘Pelukis Hantu’ di desain untuk dinikmati di layar megah bioskop dimana orang akan diajak tertawa, takut dan terharu. Arie adalah sosok panutan yang terlihat jelas memiliki isi kepala yang penuh. Ia menggunakan media ‘Pelukis Hantu’ untuk berbicara mengenai masalah masalah sensitif di negara ini. Ia membuka kritikannya dengan berbicara soal bobroknya kualitas pertelevisian Indonesia sebelum kemudian berbicara mengenai isu keserakahan kapitalis, isu kesehatan mental dan kemudian berbicara mengenai tragedi genosida terbesar bangsa ini yang jelas jelas masih menjadi ‘hantu’ di negara ini dan urung diselesaikan karena entah kenapa.

Alih alih menjadi semakin serius. Arie mencoba bijak. Ia mengakhiri kisah ini dengan sebuah pesan moral yang sederhana. Ia mengajak audiens untuk beristirahat dan mengambil hikmah dari semua kekhawatiran yang ada. Ia mengajak kita menirukan Babe Cabita dan berkata…Ah Sudahlah! Karena pada akhirnya, ketika kita tak bisa apa apa, maka mengikhlaskan semua ini adalah langkah terbijak. Pelukis Hantu adalah pengalaman sinematik yang membuat kita ketakutan, tertawa,bersedih dan pulang dengan rasa gado gado karena mengingatkan kita kembali bahwa sebesar besarnya masalah di luar sana, kita harus ingat bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga.

Oke, nilai positif film ini sudah cukup banyak. Bagaimana dengan nilai negatifnya? Oke..saya sangat menghormati Bung Arie..Jadi menulis kritikan pada filmnya ini sama kayak murid mengajari guru. Gak sopan! Maka dari itulah saya gak mengatakan kritikan saya ini benar..tapi setidaknya inilah pemikiran saya sebagai sesama penulis.

Jujur saja, hal yang paling mengganggu saya adalah kisah dibalik tokoh Tutur dan Kuntilanak. Mengapa demikian? Sebab nampaknya dari awal film ini begitu low politics, tiba tiba kok ada muatan politik yang kental dan sensitif masuk di tengah tengah cerita? Enggak salah juga, tapi kok kesannya dipaksakan. Apalagi Bung Arie memilih cara penyampaian langsung alih alih cara lain yang lebih implisit.

Menurut saya kisah Kuntilanak ini tak perlu segitunya. Kemudian saya juga melihat adanya kesalahpahaman Bung Arie mengenai budaya Tiong Hoa. Saya merasa apa yang disampaikan Bung Arie ini agak gak mungkin terjadi di budaya Tiong Hoa. Lagi lagi, saya paham, Bung Arie bukan orang Tiong Hoa dan referensi mengenai kehidupan orang Tiong Hoa di Indonesia kurang mendalam. Akhirnya Bung Arie malah terperangkap pada stereotyping mengenai masyarakat Tiong Hoa. Selama ini Bung Arie selalu menghindari stereotyping mengenai orang Tiong Hoa namun kelihatannya ia ‘jatuh’ di saat yang tidak tepat: berbicara mengenai sesuatu yang tidak ia pahami kedalamannya.

Kita berlanjut, jelas sekali bahwa Arie Kriting dalam menulis film ini banyak terpengaruh oleh ‘Ernest Formula’. Saya sebut ini sebagai ‘Ernest Formula’ karena cara penceritaan ini memang dipopulerkan oleh Ernest Prakasa. Sebelumnya, Ernest banyak juga dipengaruhi oleh ‘Dika Formula’. Namun harus diakui, Ernest berhasil mengembangkan ‘Dika Formula’ dengan lebih baik sehingga menghasilkan tontonan berkualitas. Ernest Formula bukan suatu kesalahan. Namun, menurut saya pola ini perlu dimodifikasi dan dilahirkan kembali. Beberapa sutradara memang berhasil muncul kembali dengan polanya sendiri dan mereka menghasilkan karya menarik. Meski demikian, harus diakui kreativitas mereka belum dibayar dengan pencapaian finansial yang mengagumkan.

Kisah kisah Rags to riches seperti ‘Pelukis Hantu’ ini memang rawan menjadi produk menjemukan. Pelukis Hantu yang cukup formulaik ini hampir saja jatuh ke lembah menjemukan. Ketika akhirnya kita tahu siapa Tutur bagi Kunti, kita mulai merasa tanda tanda kejenuhan itu. Tapi..saat kita masuk ke kondisi dimana Tutur mulai galau, film ini mulai menuju ke titik serunya. Sayang, keseruan itu harus berakhir prematur karena Bung Arie sudah melihat jam dan tak yakin teknik teknik dramatik akan membantu ‘Pelukis Hantu’ menjadi tontonan yang lebih mengena.

Kekurangan yang lain? Ah, sudahlah, ini kan film pertama Bung Arie. Rasanya sebagai sebuah film debut, film ini keren. Kepengen gak saya nonton film Bung Arie lagi? Jelas! Keberadaan Bung Arie dan sineas sineas baru membuat dunia film menjadi lebih bergairah. Saya sebagai penulis juga senang dengan hal ini karena siapa tahu ‘kan Santiran segera diadaptasi menjadi karya sinematik (Hup..Hup…Yuk..Yuk..bisa ).

Ardi
Ardi
Jurnalis, Penulis dan Foodiez. Menulis dua novel di Storial, "Santiran" dan "Di Rawa Peteng". Suka berdiskusi asal tidak emosi
Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya

Similar Articles

Comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Advertisment

TERKINI