“Selamat sore ibu, apa benar ini ibu adalah orangtua dari anak bernama Jayusman ? Anak ibu baru saja mengalami kecelakaan di jalan dan saat ini ada di Rumah Sakit. Anak ibu memerlukan biaya penanganan, mohon segera mengirim dana 5 juta ke rekening saya. “
Kira-kira demikian cuplikan percakapan para penipu lewat telepon yang mengaku sebagai pihak yang berwajib. Modus yang biasanya dipakai sih kalo bukan penculikan anak, kecelakaan anak, paling ya kasus anak ketahuan membawa narkotika. Lalu si penelepon minta sejumlah uang agar masalah si anak beres. Biasanya korbannya, kalau bukan ibu ya nenek dari anak ini.
Kenapa si penipu bisa mendapatkan nomor telepon ? Nomor telepon kita sudah bukan rahasia lagi. Di manapun nomor telepon kita mudah untuk dijumpai. Bukan rahasia lagi, data nomor HP masyarakat dijual bebas. Jauh sebelum ada telepon seluler, penipuan juga terjadi melalui telepon kabel. Penghuni rumah dihubungi malam-malam pada jam rawan kantuk, sehingga korban mudah disetir pikirannya.
Meskipun penipuan melalui telepon sudah lama terjadi, tetapi mengapa masih ada saja yang jadi korban penipuan ?
Pada struktur otak kita terdapat bagian yang disebut sebagai Amigdala, yaitu bagian otak yang bertugas mengendalikan ingatan, emosi dan perilaku manusia. Bagian otak yang ukurannya sebesar kacang almond ini terletak di bagian lobus temporal. Meskipun fungsi otak secara umum adalah untuk bepikir dan mengingat, tetapi secara khusus peran Amigdala adalah merekam pengalaman-pengalaman emosional, seperti rasa cinta, cemas, takut, marah, atau benci. Saraf Amigdala akan aktif ketika ada stimulus emosi yang masuk ke otak.
Tindak kejahatan berupa penipuan melalui telepon akan berhasil ketika emosi korban berhasil diatur oleh pelaku. Misal, korban tiba-tiba menjadi takut, sedih dan cemas karena merasa akan kehilangan anak. Dalam kondisi emosional, perilaku korban bisa dengan mudah diatur. Misalnya, korban diarahkan untuk pergi ke ATM untuk mengirim sejumlah uang kepada pelaku.
Kejahatan ini akan gagal ketika calon korban ternyata mampu mengendalikan emosi dengan baik, atau sedang dalam kondisi kesadaran penuh. Maka pada banyak kasus, pelaku penipuan justru dipermainkan oleh calon korban yang sedang berpura-pura cemas.
Bagaimana agar kita tidak menjadi korban penipuan ?
Pertama, kita wajib menjaga kesadaran penuh dan mawas diri saat menerima telepon, terutama ketika menyadari bahwa kita tidak mengenali nomor yang menghubungi HP kita. Dalam kondisi itu baik kiranya kita menerima telepon dengan santai dan hati tenang. Kedua, Kita juga bisa mengenali ciri langkah penipuan, seperti : (1) tidak menyebutkan letak rumah sakit atau kantor polisi yang dimaksud, (2) tidak mampu menyebutkan identitas anak dan orangtua dengan nama yang benar, (3) meminta sejumlah uang dengan alasan untuk membereskan kasus, (4), bila pelaku mengaku sebagai anggota kepolisian, maka tidak berani menyebutkan nomor anggota, dan (5) anggota kepolisian umumnya akan menyampaikan informasi dengan bahasa yang sopan, bahkan sampai akhir komunikasi.
Ketiga, selalu siap untuk mencatat nomor pelaku untuk kemudian dilaporkan kepada kepolisian. Bila pelaku mengaku sebagai anggota kepolisian, umumnya akan takut kasus penipuan dibawa sampai bagian Propam di kantor polisi.
Setelah kita tahu bahwa Amygdala menjadi penyebab orang masih menjadi korban penipuan via telepon, maka tugas pokok bagi diri kita adalah berlatih mengendalikan emosi dan perilaku, agar tidak dikendalikan oleh orang lain.