Waktu Baca: 4 menit

Beberapa orang suka menyalahkan orang lain atas kesedihannya. Bahkan di tingkatan ekstrem, mereka memaksa orang lain berubah atau melakukan sesuatu agar diri mereka bahagia.

            Orang yang suka menggantungkan kebahagiaannya pada orang lain bisa disebut sebagai orang toxic. Tapi, tidak semua orang toxic adalah orang yang menggantungkan kebahagiaanya pada orang lain. Banyak contoh sosok Toxic. Pacar yang suka memukuli pasangannya. Orang tua yang suka memaksa anaknya mengikuti kemauan mereka tanpa mempertimbangkan perasaan dan keinginan anaknya. Teman yang suka pinjam duit tapi gak ngembaliin. Mereka semua adalah orang orang toxic. Beracun. Mereka harus dihindari. Nah, salah satu jenis orang Toxic adalah orang yang memaksa kita melakukan sesuatu agar dia bahagia. Bisa dibilang kebahagiannya harus tergantung orang lain. Saya menyebutnya sebagai manusia ego.

Manusia ego merasa bahwa dirinya adalah pusat dunia. Beberapa manusia ego adalah pribadi yang negatif meski ada juga yang positif kalau dikelola dengan benar. Contoh manusia ego yang positif adalah Cristiano Ronaldo. Banyak kesaksian mengatakan dia bekerja dengan keras, ingin terus mencetak gol dan menekan teman temannya agar berusaha maksimal. Ia sangat egoistik. Suatu hari ia kalah dari Rio Ferdinand saat bermain ping pong. Marah, ia lalu membeli meja ping pong dan berlatih setiap hari hingga ia berhasil mengalahkan Rio. Semua ia lakukan demi egonya. Tapi ia mengimbangi egonya dengan kerja keras. Bisa dikatakan ia manusia ego yang positif.

Lalu, adakah manusia ego yang negatif? Jangan terkejut. Ada..malah lebih banyak. Ya itu tadi, manusia ego negatif adalah manusia yang kebahagiaannya tergantung orang lain. Biar gampang gaes, kita sebut manusia ego negatif sebagai MEN (Manusia Ego Negatif). MEN di sini bukan laki laki ya. Ini MEN si manusia toxic yang suka membahwa energi negatif karena memaksakan keinginannya. Mereka ada di sekitar kita.

MEN ini bisa siapa saja, termasuk pacar misalnya. Banyak kisah saya dengar dari teman teman saya tentang pacar yang hobi mengekang. Pacar mereka ini adalah MEN. Mereka menganggap bahwa pacarnya harus melakukan hal tertentu agar mereka bahagia. Tapi MEN tidak terbatas pada pacar, rekan kerjapun bisa. MEN di dunia kerja suka mengeluh soal gaji, soal jam kerja, soal kinerja rekannya, tapi ia gak resign resign dan ia tetap konsisten menjadi sosok menyebalkan di kantor.

Lalu, kenapa ada MEN? MEN lahir dari pribadi yang minim pelajaran refleksi diri. Dia tidak pernah belajar apa yang salah dari dirinya dan bagaimana memperbaiki dirinya. Ia merasa bahwa ia sempurna dan kesalahan ada pada siapapun kecuali dia. MEN ini malah biasanya orang yang dianggap pintar dan berbakat. Mereka biasanya mendapatkan privilege di awal awal kehidupan mereka. Sayang, mereka tak pernah bisa mewujudkan ekspetasi yang disematkan pada mereka.

Tak aneh jika MEN biasanya…(biasanya ya) adalah orang yang pintar di kelas, sering disebut bertalenta dan cemerlang di sekolah. Ia adalah hasil seleksi unggul..untuk mengikuti aturan. Namun, dunia kerja dan kehidupan nyata bukan sekolah. MEN seringkali merasa bahwa kehidupan adalah sekolah. Ia bekerja keras, ia langsung kaya. That’s not how life works dude. Dunia kerja dan nyata penuh dengan keberuntungan, kesabaran dan karakterisasi diri alias personal branding yang bisa mengubah jalan hidupmu. MEN merasa bahwa hidup hanya soal kerja keras karena di sekolah ia kerja keras dan langsung mendapat reward. Dia tidak mau belajar bahwa ia tidak di sekolah lagi. Ya, ironis, MEN biasanya orang orang yang cemerlang di sekolah. Kamu bagus di sekolah, belum tentu kamu bagus di kehidupan. Dua hal ini adalah mahluk yang sangat berbeda. Kamu harus berubah kalau mau survive.

             Demikian, MEN tidak terbatas pada manusia yang cemerlang di sekolah. MEN bisa jadi adalah anak yang dimanja orang tuanya. MEN bisa jadi genetik. Iya, ada orang yang terlahir keras kepala dan tidak pernah mau belajar memperbaiki diri. Namun hal ini jangan disamakan dengan orang keras kepala yang mempertahankan apa yang benar dan ideal. MEN ini adalah orang keras kepala yang ngawur, cara berpikirnya sering tidak logis tapi ia logis logiskan.

Dari pengalaman pribadi saya, MEN ada dimana mana dan sulit dihindari. Tapi saya belajar bagaimana menghadapi MEN. Yang pertama, jauhi MEN kalau bisa. Jaga jaraklah. Kenal kenal saja tidak masalah. Tapi jangan sampai terlalu dekat dan apalagi sampai kerja bareng yang serius. Kalau tidak bisa dihindari bagaimana? Ya ada baiknya anda belajar meletakkan MEN di ‘tempat aman’. Ya, jika di tim saya ada MEN, saya lebih memilih menaruh mereka di posisi yang jauh dari kata penting. Hal ini untuk mengurangi resiko MEN merusak tim inti. Saya pragmatis saja. Saya tidak pernah berusaha merubah MEN secara berlebihan. Kalau MEN bisa diajak ngomong ya puji Tuhan. Kalau tidak bisa ya sudah.

By the way, ada berita sedih. Seringkali tidak anda sadari, bisa jadi MEN itu adalah anda! Ya, anda juga bisa jadi MEN. Bisa jadi bagi beberapa orang termasuk saya adalah MEN. Walaupun ya, sejujurnya saya merasa tidak pernah menggantungkan kebahagiaan pada orang lain dan ego saya yang besar saya salurkan untuk kegiatan positif. Namun, tetap saja ada chance bahwa saya bisa menjadi seorang MEN.

Pencegahan yang bisa dilakukan agar tidak menjadi MEN adalah banyak belajar berefleksi. Kita harus sering sering mengkoreksi diri dan mencoba menjadi orang yang lebih baik. Saya misalnya, banyak membaca buku pengembangan diri. Saya juga meminta teman teman mengkritik saya apa adanya. Saya selalu mencoba untuk menjadi orang yang ‘kalau gak bisa bantu,setidaknya tidak menyusahkan orang lain.’ Itulah prinsip prinsip hidup yang coba saya bangun agar tidak menjadi MEN. Saya juga terus menekankan pada diri saya bahwa saya tidak boleh kecewa pada orang lain seburuk apapun mereka. Pada akhirnya toh kita punya pilihan untuk tidak mendekati atau seenggaknya bisa menghindari mereka dengan maksimal.

Akhir kata, pesan moralnya adalah : ‘Hindari MEN, jangan jadi MEN’.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini