Kehadiran Covid 19 di negeri ini memang membuat semuanya porak poranda. Apa yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari malah sirna dalam sekejap mata. Tingkat terkonfirmasi juga semakin meninggi, satu juta orang di negeri ini terpapar.
Sebuah kenyataan yang sebenarnya getir ketika kita sama-sama berjuang menghadapi korona. Memang kita juga tidak mengesampingkan tingkat atau angka kesembuhan dari yang terkonfirmasi. Memang kita tidak boleh mengubur optimisme dalam-dalam. Selalu ada asa di balik sebuah peristiwa.
Pro kontra terjadi, mengingatkan saya pada Pilpres 2019. Terpecah dua kubu, ada yang percaya korona itu membahayakan. Lalu ada pula yang beranggapan korona itu tidak membahayakan sebatas flu biasa dan bisa sembuh begitu kiranya polarisasi yang terjadi. Sudah genap virus korona ini bercokol di negeri. Lalu apa yang terjadi dengan negeri ini?
Kita mungkin masih bisa sedikit menarik ingatan berita beberapa bulan lalu, ketika para pejabat di negeri ini mengatakan bahwa korona itu penyakit “sepele” dan bangsa ini dapat mengatasinya. Tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, negara ini kelimpungan dalam mengendalikan virus yang dipercaya berasal dari negeri tirai bambu.
Sejak awal, menurut saya, pemerintah tidak siap dalam menghadapi serangan korona. Hal yang paling sederhana adalah para pejabat di negeri ini justru sibuk membuat istilah-istilah dalam menghadapi korona.
Coba kita tengok lagi, istilah apa yang marak bermunculan dari awal hingga sekarang ini. Masyarakat dihadapkan dengan istilah lockdown, herd immunity, spesimen, droplet, social distancing, PSBB, dan yang terbaru adalah PPKM. Spanduk dibentangkan. Poster ditempel dan disebarkan ke mana-mana. Ini mau menghadapi korona atau pemilu ya? Saya sampai heran deh.
Pemerintah ini memang memiliki kegemaran yang unik. Melawan korona dengan istilah bukan tindakan nyata yang terarah dan terukur. Silang pendapat terjadi ketika masyarakat memiliki inisiatif untuk melakukan kuncitara saat awal pandemi.
Pemerintah kemudian melarang inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat. Alasannya, ketika kebijakan lokal itu dilakukan maka harus menanggung penghidupan selama dilakukan kuncitara.
Istilah-istilah yang digencarkan oleh pemerintah bukannya menimbulkan rasa kepercayaan justru malah menyebabkan alienasi. Meminjam kata Karl Marx. Akibat terlalu banyaknya istilah yang terjadi adalah distorsi informasi sejak awal.
Logika dasarnya adalah saat seseorang berusaha untuk merespon dan tentunya menelaah istilah yang didapatkannya. Ia harus berjibaku lagi dengan istilah yang muncul lagi. Bagaimana ia bisa membiasakan jika proses pembelajarannnya belum tuntas?
Banjir istilah ini juga semakin diperparah dengan adanya tafsir berbeda antara pemerintah pusat dengan daerah. Sehingga menyebabkan penanganan korona menjadi tidak selaras. Mungkin jika orde baru masih berkuasa tidak akan seperti ini. Sentralisasi menjadi senjata andalan yang dapat digunakan dalam pandemi seperti ini. Pemerintah daerah dan masyarakat benar-benar “patuh” dengan kebijakan yang diberlakukan.
Selain itu, fungsi kontrol yang dimiliki pemerintah sebagai regulator tampaknya masih sangat lemah sekali. Razia yang dilakukan pun tampaknya juga tidak terlalu mencegah laju korona di negeri ini. Ya tentu pemerintah sudah memiliki alasan yang sudah pasti dapat ditebaklah, kekurangan sumber daya manusia.
Jelang berakhirnya PPKM, pemerintah pusat tampaknya tersadar bahwa negeri ini memiliki modal sosial dan ikatan kuat di masyarakatnya. Hal yang sangat berarti namun entah dilupakan atau lupa dimasukkan dalam penanganan korona saat ini. Ada benarnya juga pernyatan teman saya, masyarakat di negara ini akan tetap hidup walaupun tidak punya pimpinan. Ya karena itu tadi, masyarakat kita itu masih sangat komunal.
Semoga dengan melibatkan masyarakat atau komunitas dalam menangani korona bukanlah upaya lempar tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat pada umumnya. Tentu semua ingin kembali hidup normal, tidak djejali dengan istilah-istiah yang membuat kepala makin pening. Semua ingin nongkrong lagi, arisan, tahlilan dan merayakan pernikahan secara gedhen-gedhenan.
Sudahi saja polemik tentang istilah-istilah ini, lelah rasanya. Hemat saya yang terpenting adalah kita memiliki kesadaran untuk tetap menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Jangan terlalu berharap pada yang belum pasti. Oh ya tetapi bagaimana pun juga, para pembuat istilah-istilah selama korona ini tetap perlu diapresiasi. Dari sisi kreativitas tentu membutuhkan pemikiran yang luar biasa. Membuat istilah yang enak dan mudah untuk digunakan. Keuntungan lainnya adalah setidaknya kosakata bahasa Indonesia menjadi bertambah. Korona memang membawa banyak hikmah dan istilah. Bukankah demikian? (*)