
Pandemi Covid-19 mengubah hidup banyak orang, kebanyakan perubahan itu menjadikan hidup makin sulit. Hal ini juga yang mungkin dirasakan oleh orangtua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya di usia dini. Padahal sebagian diantara mereka masih memasuki fase awal usia remaja.
Yang membuat miris, angka perkawinan anak diproyeksikan oleh PBB akan terus naik akibat pendapatan keluarga yang terus menurun dan anggapan bahwa menikahkan anak sesegara mungkin adalah salah satu cara mengurangi beban keluarga. Data dari provinsi Jawa Tengah saja menunjukkan bahwa angka perkawinan anak selama masa pandemi meningkat 400 persen dan mayoritas adalah anak perempuan.
Sedihnya, anak-anak perempuan lebih rentan masuk ke dalam jurang perkawinan anak. Hal ini karena ada anggapan bahwa perempuan adalah orang yang tidak akan membantu kondisi keuangan keluarga. Hidupnya hanya bergantung pada penghasilan ayah dan kelak penghasian suami saja. Hal ini lah yang mendorong anak perempuan cenderung lebih beresiko masuk ke jurang perkawinan anak. Orangtua terlanjur salah kaprah memahami pernikahan sebagai pengalihan tanggungjawab, yang jika semakin cepat dilakukan akan semakin cepat pula meringankan beban keluarga.
Sayangnya harapan tersebut sebenarnya adalah angan-angan kosong yang telah dibantah oleh berbagai fakta dan pengalaman perkawinan anak usia dini lainnya. Alih-alih mengalihkan beban orangtua, mereka yang dikawinkan saat masih berusia kanak-kanak justru rentan masuk ke dalam jurang kemiskinan dan KDRT akibat ketidaksiapan finansial maupun psikologis. Selain itu, karena menikah saat masih berusia dini biasanya mereka juga belum siap secara fisik sehingga mengalami kehamilan yang beresiko.
Kenapa fakta ini tidak dapat menekan upaya perkawinan anak di Indonesia?
Pertama adalah karena relasi antara anak dan orangtua yang lebih cenderung kepada relasi patron ketimbang relasi setara. Anak, yang sebenarnya merupakan “akibat” dari aktivitas seksual orangtua, seringkali diposisikan sebagai pihak yang harus berbalas budi karena telah dibesarkan oleh orangtua. Selain tidak masuk akal, hal ini juga mengakibatkan anak tidak dapat berpikir secara sehat sebelum mengambil keputusan. Kalimat “nurut aja sama orangtua, mereka pasti tahu yang terbaik” ini membunuh segala kemungkinan lain selain yang diperintahkan orangtua.
Kedua, absennya peran pemerintah dalam mencegah perkawinan anak. Selama semester awal 2020, ada 34.000 permohonan dispensasi nikah yang melibatkan anak di bawah usia 19 tahun, dan 97% diantaranya dikabulkan. Hal ini menunjukkan minimnya peran pejabat publik dalam melakukan pencegahan dan pengawasan terhadpat praktik perkawinan anak. Padahal, mereka seyogyanya berperan aktif mengawal pencegahan dan menekan angka perkawinan anak. Naskah undang-undang tidak akan memberi dampak signifikan tanpa adanya kesungguhan dalam mengimplementasikannya.
Ketiga adalah cara berpikir yang menganggap bahwa dengan menikahkan anak, terutama anak perempuan akan memberikan mereka masa depan yang baik dengan modal yang sedikit. Bisa dibilang pemikiran ini tidak memiliki dasar logika yang kuat.
Padahal, jika anak-anak perempuan diberikan kesempatan untuk belajar dan mengeksplor potensi diri mereka, masa depan yang lebih baik tidak lagi perlu digantungkan ditangan orang lain yang menjadi suaminya. Anak-anak perempuan perlu diberikan keleluasaan untuk memilih melanjutkan hidup dan cita-citanya, dengan demikian keluarga juga memiliki tumpuan harapan yang baru tanpa harus menggadaikan masa depan anak perempuan.
Cara berpikir bahwa menikahkan anak berarti “melepaskan beban” alih-alih membantu untuk lepas dari masalah, justru timbul masalah lain yang lebih besar. Maraknya kasus KDRT dan kematian akibat melahirkan di usia dini juga semestinya menjadi perhatian untuk kita supaya perkawinan anak tidak lagi dijadikan solusi atau pelarian diri dari himpitan kondisi.