Antara Kota Jogja dan Solo yang berjarak 65 kilometer, setiap hari dirajut dengan rangkaian kereta api Prambanan Ekspress alias Prameks. Setelah melayani lintasan Jogja-Solo selama 27 tahun sejak tahun 1994, Prameks resmi pensiun beroperasi pada tanggal 9 Februari 2021. Tugasnya akan digantikan oleh 2 armada Kereta Rel Listrik, tipe JR East 205 dan KRL KFW.
Saya masih ingat ketika tahun-tahun pertama Prameks beroperasi, tiket yang digunakan adalah karcis Edmonson seukuran kartu Domino berwarna hijau. Rangkaian yang digunakan adalah 4 – 5 kereta berkelas bisnis dengan livery hijau.. bagian lorong dipasang karpet berwarna merah, dan pramugari yang berlalu lalang menawarkan jualan minuman ringan. Dengan lintasan Jogja – Solo yang saat itu masih satu jalur, sebagian masih bantalan kayu, goyangan kereta ketika memasuki stasiun perhentian menjadi kenikmatan tersendiri. Kala itu namanya Prambanan Ekspress ya memang benar-benar berhenti di Stasiun Brambanan. Di situ penumpang bisa melihat puncak gugusan Candi Prambanan dari kejauhan.
Paramek, demikian cara para simbok-simbok menyebut nama kereta ini. Kalau pada hari Sabtu dan Minggu, kereta bisa diserbu oleh anak-anak dari Solo yang diajak jalan-jalan oleh bapak ibunya ke Jogja. Ada pula yang masuk ke dalam kereta dengan nafas tersengal-sengal setelah berlari sprint dari loket karcis, karena hampir terlambat naik kereta. Ada pula mas-mas yang duduk mekangkang sendirian di kursi, yang semestinya bisa dipakai untuk dua orang, dia kuasai sendiri. Secara romansa, Prameks menyatukan para pejuang LDR. Anak-anak Solo yang kuliah di Jogja tentu biasa menyerahkan perjalanannya untuk pulang kepada Prameks. Ketimbang naik motor sendiri bonus masuk angin dan dipepet bus, lebih baik ngalahi ngantri beli tiket prameks dan bayar 8000 doang. Banyak pula mahasiswa di Jogja yang bolak balik naik Prameks ke Solo untuk menemui kekasihnya. Nasib menjadi sial ketika mau kembali ke Jogja dan ketinggalan jadwal kereta beberapa menit. Ada juga cowok yang pedekate ke mbak-mbak petugas loket di stasiun Lempuyangan, bahkan hingga hafal jadwal shift tugasnya, karena saking seringnya naik Prameks.
Ya,tiap orang memiliki kenangan tersendiri terhadap Prameks.
Prameks sempat melayani beberapa jalur selain Stasiun Yogyakarta – Solo Jebres. Ada juga yang melayani lintasan Jogja – Kutoarjo, bahkan sempat diperpanjang sampai stasiun Prembun, Kebumen. Beberapa jadwal perjalanan juga diperpanjang sampai ke stasiun Palur, Karanganyar. Beberapa wacana juga sempat beredar, misalnya perjalanan diperpanjang hingga Sragen atau Madiun. Selama melayani jalur Jogja – Solo, Prameks juga pernah ditemani beberapa kereta antara lain Sriwedari Ekspress, Sidomukti, Madiun Jaya, dan Joglosemarkerto. Namun yang menjadi favorit tetaplah Prameks. Bagaimana tidak, tiketnya saja hanya 8000 rupiah. Lebih murah daripada naik bis atau kendaraan pribadi.
Jenis rangkaian kereta yang paling lama bertugas sebagai Prameks adalah Kereta Rel Diesel (KRD) MCW 302 dengan ciri khas 3 pintu hidrolik di setiap sisinya. Kereta yang diimpor dari jepang antara tahun 1978 – 1987 ini memang menyebalkan, tetapi ngangeni. Menyebalkan, karena tidak bisa ngebut. Namun demikian, jarang mogok. Ada juga armada KRDI ex BN-Holec yang diimpor dari eropa. Ciri khasnya adalah kaca masinis warna hitam dan lebar. Soal kecepatan akselerasi, armada ini lebih baik ketimbang KRD MCW302. Meskipun usianya relatif muda, tetapi lebih sering mogok ketimbang armada KRD MCW302. Kalau sudah mogok, maka para penumpang hanya bisa pasrah menunggu kereta ditarik lokomotif.
Sepanjang 27 tahun pelayanannya, Prameks pernah satu kali mengalami peristiwa naas / PLH, yaitu pada hari Selasa 23 Oktober 2012. Saat itu sekitar pukul 5 sore, Prameks nomor KA 213 anjlok di antara petak Stasiun Brambanan dan Stasiun Maguwo. Tiga dari lima kereta anjlok dari rel dan merintangi lintasan rel Jogja Solo. Tidak ada korban jiwa, namun 40 penumpang mengalami luka-luka dan dibawa ke Rumah Sakit. Selain peristiwa tersebut, prameks beberapa kali mengalami kerusakan mesin dalam perjalanan.
Terima kasih Prameks. Armada boleh berganti, nama boleh berganti, tetapi sejarah tetap dilanjutkan oleh KRL Jogja-Solo, di bawah asuhan PT Kereta Commuterline Indonesia (KCI).