Waktu Baca: 3 menit

Aksi pengeboman yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 MaretĀ  2021 saat ibadah Minggu Palma tengah berlangsung bukanlah menjadi kasus pertama di yang terjadi di Indonesia. Minggu Palma yang menjadi awal pembukaan pekan suci bagi umat Katolik seluruh dunia dikejutkan oleh kabar meresahkan berupa bom bunuh diri. Kasus-kasus yang terjadi bukan hanya satu namun sudah berulang kali terjadi, Deretan kasus pengeboman yang dilakukan oleh tersangka dengan mengorbankan diri yang biasa disebut bom bunuh diri menjadi sebuah fenomena yang semakin umum di Indonesia. Sasaran target pengebomannya bermacam-macam dan dengan dilatar belakangi oleh berbagai motif yang beragam.

Sejarah mencatat bahwa bom bunuh diri yang pertama kali dilakukan oleh kelompok Hizbullah pada abad ke-20. Kelompok Hizbullah merupakan organisasi militer dan politik milik Lebanon yang memiliki kekuatan yang mumpuni. Kasus tersebut terjadi di Amerika Serikat dan mulai merambah ke negara-negara lainnya. Serangan aksi bunuh diri menggunakan pengeboman selalu menimbulkan keresahan bagi masyarakat, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Kekerasan yang terjadi takkan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Masa pandemi yang masih belum berakhir ditambah dengan ancaman-ancaman tersirat dari aksi bom bunuh diri menjadi suatu momok yang menakutkan.

sumber gambar :Antara
.

Kasus bom bunuh diri yang terjadi di berbagai negara ternasuk Indonesia dikategorikan ke dalam suatu tindakan pembunuhan yang terencana. Selain menelan kerugian material, kerugian non material juga terdampak dari aksi tersebut. Beberapa kasus yang telah terjadi adalah kasus bom Bali I 2012, bom JW Marriot 2003, bom Kedubes Australia 2004, bom Bali II 2005, bom JW Marriot dan Ritz Carlton 2009, bom Masjid Az-Dzikra 2011, bom Sarinah 2016, bom Mapolresta Solo 2016, bom Kampung Melayu Jakarta 2017, bom Tiga Gereja di Surabaya dan Sidoarjo 2018, dan bom Gereja Katedral Makassar 2021. Deretan kasus tersebut membuat manusia semakin bertanya-tanya tentang keberadaan hati nurani yang seharusnya menuntun manusia dalam memberikan pertimbangan tindakan yang akan dilakukan, yang sedang dilakukan dan yang telah dilakukan.

Hati nurani menjadi salah satu faktor penentu utama manusia dalam melakukan tindakan sehari-hari yang dilandasi kejujuran dan keyakinan seseorang. Hati nurani mampu membimbingĀ  manusia untuk melakukan apa benar dan menjadi ciri pokok eksistensi moral seseorang. Perbuatan moral yang dilakukan seseorang seringkali dipengaruhi oleh hati nurani yang menyuarakan kehendak atau suara Tuhan. Namun, keterkaitan antara hati nurani dan kehendak Allah masih menjadi misteri. Dalam kasus pengeboman ini, apakah berarti pelaku pengeboman tidak memiliki hati nurani? Tidak selalu demikian. Mengapa? Seringkali kemutlakan yang ada dalam hati nurani tidak selalu merupakan suatu kebenaran. Hal tersebut dapat terjadi karena hati nurani didasarkan pada penilaian manusia dan penilaian manusia tidak selalu benar 100%. Dalam hal ini, pelaku pengeboman tidak salah sepenuhnya namun tidak benar sepenuhnya. Berbagai faktor yang mempengaruhi tidak bisa menjadi patokan untuk mengadili perbuatan seseorang. Pembelajaran yang dapat diambil dari peristiwa yang meresahkan ini adalah kita sebagai manusia harus lebih selektif dalam menyerap informasi dan mengelolanya. Hal tersebut sangat mempengaruhi kinerja dari hati nurani manusia. Dari hati nurani tersebut, segala perbuatan dilakukan. Ambisi, emosi, perasaan negatif dan juga keyakinan seseorang juga menjadi faktor penentu seseorang melakukan perbuatan.

Banyak hal terjadi di luar kesadaran, dan di luar kendali manusia seperti halnya peristiwa pengeboman yang terjadi pada saat ibadah berlangsung. Siapa yang mengira bahwa akan ada malapetaka hadir ketika seluruh jiwa dan raga dipusatkan dalam peribadatan dan doa? Entah siapa yang akan mengetahui atau tidak, saat ini makin jelas bahwa tidak ada yang pasti di dalam kehidupan ini. Manusia yang diciptakan dengan unik oleh Sang Pencipta dengan berbagai kepribadian emosi, identitas, motivasi, dan pandangan yang berbeda membuat adanya rasa persaudaraan bukan permusuhan. Homo Hominini Socius yang berarti manusia adalah rekan bagi sesamanya seharusnya lebih diterapkan daripada Homo Homini Lupus yang mengandung arti manusia adalah serigala bagi sesamanya. Daripada saling menikam dengan berbagai prasangka untuk melampiaskan keganasan, lebih baik saling merangkul dalam kebersamaan berlandaskan Bhineka Tunggal Ika.

Ketika menyikapi suatu kejadian yang menimbulkan kesedihan dan dosa, seringkali kita manusia sering bertanya, aku harus bagaimana? Mensyukurinya atau mengutukinya? Tak dipungkiri ancaman dalam kehidupan manusia selalu ada. Manusia yang tak pernah meminta untuk diciptakan, namun berkat belas kasih dari Sang Pencipta, Ia berkenan menciptakan masing-masing dari kita. Akal dan pikiran yang telah diberikan menjadi suatu bekal dalam menjalani kehidupan. Bekal tersebut harus diasah agar mampu digunakan secara bijak dalam menjalani kehidupan. Ancaman yang ada mampu menjadi suatu berkat jika dilihat dari cara pandang baru.

Secara garis besar analoginya serupa dalam Summa Theologiae yang menggunakan analogi seorang dokter. Dokter tersebut ingin menyembuhkan pasiennya dari penyakit kronis dan membiarkannya mengalami sakit yang lebih ringan. Contohnya, seorang dokter akan menggunakan kemoterapi guna mengobari pasien yang kanker meskipun ada efek samping yang akan dirasakan seperti mual, pusing, kehilangan berat badan dan kehilangan rambut. Analogi tersebut bisa diterapkan dalam pola pikir kita dalam memandang suatu penderitaan atau dosa. Tuhan akan menyembuhkan dosa-dosa dan penderitaan-penderitaan yang berat dengan menggunakan dosa-dosa yang lebih ringan. Ancaman berupa penderitaan dan dosa dapat dipandang menjadi suatu berkat karena dari sanalah muncul kerahiman Tuhan.

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini