Menjelang lebaran, biasanya undangan reuni sekolah akan muncul di beranda media sosial kita. Pertemuan bertajuk Buka Bersama atau Syawalan itu bisa jadi dilakukan secara simultan untuk berbagai jenjang : teman SD, teman SMP, teman SMA, dan teman kuliah. Lebih ramai lagi kalo kita pernah punya pengalaman pindah sekolah di masa SD, SMP, atau SMA. Undangan bisa makin ramai mengantre di kalender kita. Tidak semua orang suka dengan urusan reuni. Bahkan mungkin, yang benar-benar berminat urusan reuni hanya 10 persen dari jumlah total alumni di sebuah sekolah. Sisanya hanya ikut-ikutan karena longgar waktunya, dan ada yang antipati dengan urusan reuni.
Tak ada yang salah dengan undangan reuni. Undangan itu baik-baik saja, toh juga bagian dari silaturahmi antar sesama, sebuah pengamalan semangat Pancasilais. Persoalan biasanya akan muncul pada hari reuni dan pasca reuni. Setidaknya ada 3 hal menyebalkan dari reuni sekolah, yaitu unjuk gengsi, uang, dan relapse luka batin.
Unjuk Gengsi
Mari kita daftar beberapa pertanyaan khas yang muncul ketika reuni. Bagi yang usia 20 – 25 tahun, pertanyan umumnya adalah “Udah lulus kuliah?” , “Udah nikah ?” , “Anakmu berapa?” , “Kerja di mana?”, “Usahamu sekarang apa ?”. Bagi yang usia 25 – 35 tahun, pertanyaan akan berkembang dengan “Udah punya rumah di mana?” , “Sekarang kerja di mana ?” . Untuk yang usia lebih dari 45 tahun, pertanyaan akan bertambah dengan “Kapan mantu ?” .
Pertanyaan yang tampaknya remeh temeh nan basa-basi itu sebetulnya bukan pertanyaan belaka. Di balik itu penanya dan pendengarnya menunggu jawaban sembari dengan cepat membandingkan pada keadaan dirinya. Bisa juga kemudian diikuti dengan aksi pamer, entah kendaraan yang dipakai untuk datang ke reuni, perhiasan yang dipakai, atau pamer koleksi foto dokumentasi kegiatan piknik ke luar negeri. Kalau kita bisa mengimbangi jawaban, maka pertanyaan-pertanyaan macam itu tidak menjadi masalah. Persoalannya adalah ketika kita datang di reuni, dan kita bukan orang sukses menurut mereka yang datang. Rasa minder dan malas bisa dengan cepat menyerang mental kita.
Masalah Uang
Reuni tidak lepas dari persoalan uang, entah iuran untuk paguyuban alumni, atau iuran untuk membantu sekolah. Namanya reuni sekolah, minimal keluar uang 50 ribu untuk iuran. Kalau lebih dari itu, tentu lebih baik. Tetapi kalau kurang dari itu kok rasanya terlalu sedikit. Masalahnya, Tidak semua dari kita benar-benar mampu memberikan iuran. Bagi yang penghasilannya di atas 4 juta per bulan, mungkin bukan hal sulit untuk memberi iuran selembar uang biru. Toh iuran setahun sekali. Tetapi kalau kita penghasilannya pas-pasan, selembar uang biru sangatlah berarti untuk makan sehari-hari. Kalau kita tidak nyumbang, siap-siap saja dilirik oleh teman-teman. Meskipun di depan kita dikatakan “Oo nggak papa, ya seikhlasnya saja.” , tetapi di belakang kita bisa digosipin.
Relapse luka batin
Reuni bisa menjadi sesuatu yang menyebalkan ketika di masa remaja kita punya pengalaman buruk terhadap teman sekolah. Ketika kita bertemu sosok teman yang pernah berbuat jahat pada kita, maka ingatan buruk bisa terjadi relapse atau kambuh. Suatu pengalaman pahit yang sudah kita tutup rapat, kita anggap selesai, ternyata bisa muncul lagi ketika reuni. Lebih menyebalkan lagi kalau orang itu bersikap innocent, seolah tidak ada kesalahan apapun pada kita. Dalam kondisi macam itu, kita masuk dalam jebakan. Kalau kita bereaksi dengan menunjukkan sikap antipati, kita bisa dinilai kekanak-kanakan, karena pengalaman masa lalu dibawa-bawa sampai kini. Tetapi kalau kita diamkan saja, dalam batin tetap ada gejolak emosional.
Itulah tiga hal menyebalkan yang menyelimuti urusan reuni sekolah. Sebaiknya pengalaman nostalgia masa sekolah jadi sekadar hiburan saja, tidak jadi bagian hidup yang utama. Kalau hidup kita masih banyak berkutat pada urusan nostalgia masa sekolah, jangan-jangan siklus hidup kita macet di masa remaja, tidak beranjak dewasa.
Semoga tidak demikian.