Waktu Baca: 4 menit

Salah satu upaya untuk menjaga ketahanan iklim global adalah dengan menjaga gambut. Lhoo, emang apa itu gambut?

 

Gambut? 

Gambut merupakan lapisan serasah organik berupa daun, ranting, dahan, dan kayu yang tidak terdekomposisi secara sempurna akibat terendam air selama beribu-ribu tahun, sehingga sebagian besar memiliki warna gelap, warna hitam. Definisi lain dari gambut adalah material organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yg  terdekomposisi tidak sempurna dgn ketebalan 50 (lima puluh) cm  atau lebih dan terakumulasi pada rawa (PP 57/2016, Permen LHK tahun 2017). Di Indonesia, tanah gambut hanya terdapat di beberapa daerah seperti daerah Kalimantan, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, dan Papua bagian selatan.

 

Pengalaman Bergabut Ria, eh Bergambut Ria

Pengalaman saya berkenalan dengan gambut adalah sejak kurang lebih 2,5 tahun lalu, tepatnya Desember 2018 yang lalu, dimana saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Kalimantan Tengah dan menjumpai gambut secara langsung. Kegiatan yang diselenggarakan oleh BRG (Badan Restorasi Gambut) RI yang bekerja sama dengan Australia Global Alumni tersebut memberikan kesempatan bagi 12 orang pemuda atau pemudi dari DIY Jabodetabek untuk mengikuti workshop dan live in di daerah bergambut. Puji Tuhan, saya menjadi salah satu pemudi yang terpilih melalui seleksi esai dan vlog. Dari pengalaman itulah, saya mulai sadar akan pentingnya gambut bagi manusia, dan anak muda harus tau apa itu gambut. Namun tidak berhenti hanya pada “tau” melainkan juga “sayangi”. Pemahaman wawasan dan pengetahuan yang bijaksana mampu mengembalikan fungsi hutan gambut sebagaimana mestinya yaitu sebagai tempat yang mengatur tata air sekaligus ekonomi masyarakat sekitar, sebagai penyimpan keanekaragaman hayati yang besar sehingga menjadi sumber pengetahuan, dan sebagai penyedia oksigen bagi makhluk hidup.

 

Gambut Itu Subur atau Ngga?

Apakah kalian tau tanah gambut yang terdiri dari serasah-serasah organik itu termasuk tanah yang subur atau tidak? Yup, salah! Tanah gambut bukanlah tanah yang subur, namun kaya akan material organik. Salah satu karakteristik tanah gambut adalah memiliki kandungan asam fenolat yang tinggi, sehingga kerap kali menjadi racun bagi tanaman yang tumbuh di atas permukaan gambut. Namun, gambut tetap dapat memberikan hasil dan dapat dimanfaatkan secara maksimal jika diolah dan dikelola dengan pemberian nutrisi zat-zat makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Unsur hara makro berupa Nitrogen, Fosfor, Kalium, Magnesium, Kalsium, dan Sulfur. Unsur-unsur tersebut dapat berfungsi mengatur pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, dan sumber tersebut bisa didapat dari bahan-bahan organik berupa hewan atau tumbuhan yang sudah mati di tanah dan beberapa zat kimia alami buatan yang dapat ditambahkan. Begitupula dengan unsur hara mikro berupa Boron, Zeng, Besi, Mangan, Natrium, Khlor dan Nikel.

 

 

Gambut kan Gak Subur, Kenapa Harus Dikelola?

Pertanyaan tersebut dapat disejajarkan dengan pertanyaan “Manusia kan lapar terus, kenapa harus makan?”. Nahh.. Begini begini.. Indonesia termasuk dalam empat besar negara yang memiliki lahan gambut terluas, guys. Indonesia memiliki lebih dari 6,95% dari luas gambut tropis global. Bersyukurlah kita bahwa kita lahir di negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati. Namun, rasa syukur yang seharusnya dikembangkan dengan memanfaatkan, menjaga dan mengelola tidak berjalan dengan semestinya. Fakta yang terjadi adalah, dari waktu ke waktu gambut kita semakin rusak. Sebagian besar kawasan gambut Indonesia dikonversi ke pertanian skala besar yang memicu deforestasi dan pembangunan drainase gambut. Degradasi ekosistem gambut disebabkan oleh bermacam-macam pemicu, diantaranya pembalakkan kayu (legal maupun illegal), adanya konversi hutan rawa gambut ke penggunaan lain, pembangunan kanal drainase, dan akhirnya memicu terjadinya kebakaran.

Terkait kebakaran hutan, Dr. Alue Dohong menjelaskan bahwa sejak tahun 1997 kebakaran terus terjadi di daerah Kalimantan. Kebakaran tersebut disimbolkan sebagai lingkaran setan kebakaran. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Alasan pemberian simbol julukan tersebut karena, lahan gambut yang terbakar akan menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi lingkungan dan bagi manusia. Api yang melahap lahan gambut bertahan selama berbulan-bulan karena api menjalar sampai ke permukaan bawah tanah. Hal tersebut menyebabkan api sulit dipadamkan dan mengganggu kegiatan masyarakat. Banyak warga meninggal atau terserang penyakit karena menghirup partikel kebakaran yang terhembus angin dalam bentuk asap. Disebutkan pula, menurut survei estimasi polusi, kebakaran di bawah permukaan tanah (dalam) menghasilkan polusi 31,8 ton CO2/ha (75%) dan kebakaran permukaan tanah menghasilkan polusi 10,6 ton CO2/Ha (25%). Hal tersebut sangat berbahaya bagi semua makhluk hidup, bukan hanya di Indonesia, namun di seluruh dunia. Kebakaran tersebut berdampak langsung pada kenaikan suhu sekitar 4oC dan membuat jalur transportasi terhenti akibat jarak pandang yang terbatas karena asap tebal. Sedih banget kan?

Nah, menanggapi permasalahan iklim tersebut, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk mengurasi emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional. Kegiatan restorasi gambut sangat berkontribusi mendukung pencapaian target tersebut. Salah satu usahanya adanya dengan menjaga gambut dan mengembalikan kondisi gambut seperti sedia kala yaitu gambut yang tergenang. Usaha tersebut mampu menghindarkan dampak negatif dari kebakaran dengan membangun sekat kanal dan penimbunan Eks PLG (Pengembangan Lahan Gambut) yang pernah dibuka di era Soeharto. Lahan gambut dialihfungsikan secara besar-besaran menjadi ladang pertanian. Eitss apa itu Eks PLG? Jadi begini.. Pada era Soeharto, kala itu ada program satu juta hektar lahan dibuka untuk dilakukan penanaman padi, namun nyatanya gagal karena kurangnya pengetahuan tentang pengelolaan tanaman pertanian di lahan gambut. Tanaman dalam “Mega Rice Project” tersebut akhirnya sulit tumbuh dan diabaikan. Itulah mengapa saat ini daerah tersebut disebut sebagai Eks PLG. Saat ini, pemerintah sedang mengembangkan proyek besar di lahan gambut. Menjadi harapan kita bersama bahwa proyek lumbung padi nasional yang saat ini tengah dijalankan di lahan gambut tidak menuai masalah baru dan mampu menghasilkan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Sebagai kaum muda, walaupun tidak pernah menjumpai bagaimana gambut secara langsung, namun tanggung jawab untuk menjaga gambut adalah milik bersama. Usaha tersebut dilakukan mulai dari memahami apa itu gambut, membagikan informasi yang benar kepada teman atau keluarga, dan membantu melakukan aksi kampanye untuk dukung aktivitas pro alam tanpa pandang bulu. Semoga kesadaran ini menjadi kesadaran bersama yang membangun Indonesia.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini