Mengenang Perjuangan Kartini berarti kita mengambil inspirasi dari perjuangannya yang sebenarnya bukan hal baru, tapi fundamental demi masa depan bangsa ini. Perjuangan Kartini ini bahkan diteruskan oleh tokoh fiksi yang tak kalah gigihnya. Siapa dia?
Dalam perjalanan sejarah, Kartini merupakan wanita Jawa yang hidup pada masa kolonialisme Belanda. Pada masa itu, Kartini memiliki ikatan kuat dengan Belanda. Hal ini dimungkinkan karena dia adalah seorang perempuan bangsawan. Kartini saat itu sangat mengagumi pemikiran perempuan-perempuan Belanda yang dinilai Kartini independen dan memiliki visi untuk membentuk pergerakan yang progresif.
Kartini bisa dikatakan memiliki pemikiran yang sangat maju dibandingkan perempuan Jawa pada masa itu. Ia berfokus pada bidang pendidikan yang saat itu cenderung sangat feodal dan patriarki. Namun tak semuanya berjalan mudah. Dia mengalami keterbatasan dalam mengutarakan pendapat, bersekolah, pola hidup, pilihan hidup yang independen, dan terikat pada strata sosial perempuan Jawa pada masa itu. Secara personal, ia merasa terkesampingkan karena perempuan diposisikan sebagai “objek” dalam patriarki Jawa. Cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi di Belandapun terhambat.
Sebagai perempuan Jawa, Kartini terjebak dalam pemikiran kolot bahwa kodrat perempuan dalam kebudayaan Jawa tidak dapat memimpin. Maka dari itu haruslah laki-laki yang memimpin. Pemikiran ini membuat Kartini tidak bisa bersekolah sesuai harapannya.
Berkaca pada nasib Kartini. Perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang dikatakan sama oleh Belanda, bukan karena aturan dari Belanda yang melarang, namun karena norma budaya yang tidak dapat mengizinkannya untuk melakukan hal tersebut. Karena itulah Kartini merasa frustasi.
Hal tersebut tampak dari surat-surat awal Kartini yang menunjukan keinginannya untuk menjalani pendidikan berkualitas. Ia banyak mencurahkan perasaanya pada Estella, sahabat penanya. Mereka sering bertukar pikiran dan proses ini membawa inspirasi pada Kartini.
Dari situlah ia memiliki cita-cita akan memajukan perempuan Jawa. Dia menyadari akan keterbatasan perempuan Jawa yang hanya dapat menjadi “objek” dan “pendamping” laki-laki karena kerangka sosial yang mengekang. Dari situlah ia memiliki cita-cita, yang akhirnya menciptakan pergerakan untuk memberdayakan perempuan Jawa. Ia memilih melawan kodrat budaya patriarki Jawa dengan pendidikan.
Ia gigih. Sikapnya yang tidak mau kalah tersebut bahkan tampak ketika Kartini dilamar oleh calon suaminya kelak. Ia meminta syarat kepada Raden Adipati Joyodiningrat untuk memberinya kesempatan mendirikan sekolah khusus perempuan. Syarat ini disanggupi suaminya sehingga Kartini mendapat peluang merubah martabat perempuan lewat kerja kerjanya di bidang pendidikan.
Perhatiannya terhadap kaumnya bukan semata-mata menentang dan menyerang konsep patriarki . Kartini tidak ingin ada konsep patriarki yang abusif terhadap perempuan. Perjuangannya memang tidak selesai, namun meletakkan fondasi kuat di masa depan wanita Indonesia.
Kartini dan Perjuangannya Melawan Feodalisme Jawa Dalam Refleksi Tokoh Sastra Indonesia

Pergerakan Kartini tidak pernah berhenti. Bahkan ada sekolah yang didedikasikan untuk dirinya dan menggunakan namanya. Banyak wanita yang meneruskan perjuangannya, termasuk tokoh fiksi, misalnya saja Roro Mendut yang diciptakan oleh Y.B. Mangunwijaya.
Dalam kisahnya, Roro Mendut terjebak dalam situasi yang sama dengan Kartini. Roro Mendut yang merupakan gadis pesisir merasa bahwa Kraton sangatlah ketat dengan aturan aturan yang membatasi wanita. Roro Mendut akhirnya memilih melawan dan memperjuangkan hidupnya. Tragis, ia harus kehilangan nyawanya dalam pelarian. Namun kematiannya adalah sebuah perayaaan untuk lepas dari sebuah kandang imajiner yang dibuat ‘atas nama kraton’.
Kartini dan Roro Mendut mungkin memiliki banyak perbedaan. Kartini tokoh nyata, Roro Mendut tidak. Kartini melawan dengan pergerakan halus tapi progesif, sementara Roro Mendut lebih agresif dan personal. Pun demikian, kedua duanya menjadi inspirasi bagi kaum wanita untuk mengubah nasibnya. Meski sudah jauh lebih baik, masih ada gerakan oposan pada kaum feminis dan usaha untuk menekan wanita dengan menggunakan dalih atas nama ‘budaya, politik dan bahkan agama’. Sampai mana perjuangan itu? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Dalem..