Bangsa kita adalah eksplorator yang baik, tetapi bukan pembelajar yang baik. Betapa sukarnya kita bila diajak untuk belajar dari pengalaman orang lain. Tetapi betapa mudahnya kita bila ingin membuktikan ucapan, nasehat, atau mencari pengalaman sendiri. Berhari-hari di media sosial kita disuguhkan cerita, foto, dan video tentang India yang kacau balau karena penyebaran wabah virus Corona yang sedemikian masif. Kita boleh saja bergidik melihat kengerian di India. Tetapi ketika didorong untuk antisipasi diri agar negeri kita tidak mengalami hal yang sama, kita dengan cepat memunculkan sikap skeptis.
Fenomena rakyat yang berjubel di Pasar Tanah Abang (dan juga terjadi di berbagai kota lainnya) adalah bukti nyata sikap skeptis kita. Bagi kita, pengalaman orang India dengan badai pandemi nya, itu sekadar teori saja. Â Barangkali kita masih berpikir bahwa rakyat negeri Vrindavan itu pola hidupnya kemproh, jorok, menjijikan, sementara kita lupa bahwa ada masyarakat kita yang cara hidupnya tidak jauh beda dengan orang India.
Soal sikap semau gue, India bukan satu-satunya negeri yang keterlaluan. Orang-orang kita pun memiliki sikap masa bodo yang sama parahnya. Pokoknya, segala omongan orang lain itu hanyalah teori saja. Keyakinan baru bisa muncul ketika kita membuktikan sendiri segala omongan orang lain itu. Bahkan seringkali keyakinan baru bisa muncul ketika diri kita mengalami celakanya sendiri.
Sebagai bangsa yang sangat kuat jiwa eksploratornya, celaka demi celaka bisa kita jalani dengan sikap yang amat biasa. Sepanjang sejarah bangsa kita, amat sedikit titik-titik peristiwa yang menunjukkan bahwa kita memang bisa belajar dari pengalaman orang lain. Sebut saja lagu nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera. Lagu itu jelas menunjukkan mental kita sebagai penjelajah hidup.
Sebut saja beberapa peristiwa bencana alam gempa bumi yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Ketika suatu tempat terdampak gempa yang menghancurkan rumah-rumah penduduk, masyarakat kita di tempat lain toh tidak juga belajar dari pengalaman orang lain. Rumah tetap saja dibangun dengan konstruksi seadanya, meskipun tahu bahwa mereka hidup di area yang sangat rawan gempa.
Masih ingat pula, di awal pandemi tahun lalu ketika penyebaran virus Corona masih belum se masif seperti saat ini, pejabat-pejabat kita tercinta dengan sesumbar menyatakan bahwa virus Corona tidak akan masuk ke Indonesia. Sekalipun sudah diperingatkan oleh para epidemolog, toh tidak ada antisipasi serius yang dilakukan di titik-titik bandara internasional. Hasilnya adalah situasi yang kita jalani saat ini.
Singkat cerita, kita baru mau benar-benar percaya kalau sudah mengalaminya sendiri, bukan sekadar karena himbauan orang lain. Seperti kata pepatah, penyesalan selalu datang belakangan. Sebab kalau datang di awal, itu namanya pendaftaran.
Apakah kita akan mengalami badai wabah virus Corona sebagaimana yang dialami India saat ini ? Bisa jadi. Sangat bisa. Varian mutasi virus Corona dari Inggris, Afrika Selatan dan India sudah masuk ke Indonesia. Kalau peningkatan pasien Covid berlipat ganda seperti di India, maka sistem kesehatan kita akan kolaps. Proses vaksinasi kita belum selesai, ditambah dengan protokol kesehatan kita di level masyarakat yang masih kacau, dan tenaga kesehatan kita yang terbatas, menjadi hal-hal yang cukup untuk menggambarkan seperti apa jadinya kita bila penyebaran wabah virus Corona kita berubah menjadi badai seperti di India.
Tetapi, mau bagaimana lagi, kita bukanlah pembelajar yang baik. Kita adalah eksplorator yang baik. Kalau belum mencoba sendiri, tidak akan percaya.
Mari jaga kesehatan keluarga kita masing-masing.