Akhir-akhir ini, Jogja sedang menjadi trending topic di dunia maya. Bukan karena prestasinya tapi malah dengan permasalahan yang menjadi viral. Memang tidak dapat dipungkiri Jogja masih menjadi primadona wisata bagi para pelancong. Konon katanya sih, apa-apanya murah. Setelah heboh dengan kasus pecel lele viral. Sekarang malah terkenal lagi gegara tarif parkir jogja yang mahal. Pukulan telak bagi pelaku dunia pariwisata, khususnya di Jogja.
Kedua kejadian di atas sebenarnya merupakan pengulangan dari tahun ke tahun. Ya malah bisa dibilang seperti siklus sih. Bahkan berdasarkan pengamatan di dunia maya. Para warga net pun sudah bisa menduga kasus ini akan muncul kembali. Apalagi jika sedang ada momen cuti bersama atau pun libur panjang. Lalu kenapa hal ini selalu berulang terus?
Parkir Jogja Kok Mahal?
Parkir jogja dengan tarif ngawur alias nuthuk merupakan fenomena yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya meyakini masih banyak para pelancong yang memendam amarah ataupun menjadi korban parkir tersebut. Hanya beberapa saja yang berani untuk ngomong di dunia maya ataupun nyata. Mengapa demikian? Karena saya juga mengalaminya beberapa tahun yang lalu. Nyatanya? Tidak ada perubahan sama sekali bahkan sampai sekarang.
Sekilas saya ingin sedikit bercerita. Kala itu saya mengunjungi Alun-alun Utara Jogja. Semasa Sekaten masih ada sih. Kalau sekarang kan sudah ndak boleh. Sebagai kasta terendah di Jogja. Saya harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang. Maka dari itu saya mendatangi Alun-alun Utara untuk berbelanja baju awul-awul. Udah pasti tahu kan ya?
Baca juga : Siomay Jogja Enak, Siomay Shinchan Dong!
Setelah hati gembira mendapatkan beberapa helai pakaian. Saya memutuskan pulang ke rumah. Sesampainya di parkiran, sepeda motor matik saya harus membayar parkir 5.000 rupiah. Edyaaan…udah kayak roda empat saja. Usaha berdebat pun sia-sia, karena teman-teman tukang parkir langsung mengelilingi saya. Nyawa taruhannya. Saya lebih baik mbayar dengan gedumel daripada bayar 2.000 bonus bogem di wajah.
Saya berinisiatif untuk menghubungi teman saya yang kebetulan pewarta berita. Ia juga berinat untuk mengangkat kasus yang saya alami. Alhasil demi memperoleh prinsip cover both side, ia menghubungi penanggung jawab parkir (pemerintah). Jawabannya sudah tentu bisa diduga, oke mas nanti saya coba cek. Terimakasih infonya. Sangatlah normatif! Tapi ya mau gimana lagi, beruntung juga sudah dibalas pesannya.
Sejarah yang Berulang
Pola-pola parkir seperti yang saya alami selalu saja berulang. Modusnya pun selalu sama. Ada yang berusaha mencoret kertas retribusi parkir dengan spidol. Padahal karcis retribusi parkir tersebut asli dari pemerintah. Mengganti nominalnya dengan versi mereka. Modus yang lain adalah menggunakan tiket parkir yang ilegal. Semacam tiket parkir ala-ala mereka. Yang terakhir adalah karcis retribusi parkir yang mengatasnamakan organisasilah, paguyuban, bahkan menggunakan simbol-simbol tertentu.
Keberlangsungan mereka semacam mendapatkan angin segar tatkala banyak orang yang bersifat permisif dengan tanggapan atau komentarnya. Semisal, punya mobil tidak bisa bayar parkir, ya wajarlah tempat wisata, masak piknik gak mau keluar uang dan tanggapan amazing lainnya. Tentu hal-hal seperti ini haruslah segera dihentikan apabila Jogja masih ingin menjadi destinasi wisata. Pembiaran-pembiaran ini sangatlah menghambat kemajuan dunia pariwisata.
Baca juga : Makna Tersembunyi Di Balik Upah Minimum Provinsi Jogja
Salah satu prinsip dari pengelolaan pariwisata adalah keberlanjutan. Tentu masih ingat, bagaimana pelaku wisata sangat terpukul dengan adanya korona. Sekarang, saat mulai merangkak, beberapa oknum malah menggunakan jurus aji mumpung. Lha bagaimana kalau sudah seperti ini? Citra buruk juga kan yang melekat pada akhirnya? Memang dalam sehari bisa meraup untung banyak tetapi setelah itu apa yang terjadi? Apa si wisatawan mau kembali ke sana? Saya rasa tidak. Perlu diingat, wisata bukan hanya semata-mata soal oleh-oleh saja. Tapi juga memori dan juga citra sebuah destinasi wisata.
Permasalahan ini bukan hal sepele. Ibarat bom waktu saja, setelah dua kali viral. Pemerintah mau apa? Itu yang penting. Sebagai pemegang kebijakan dan kekuasaan tentu harus bersikap tegas. Jangan ketika ada laporan baru bergerak. Saya rasa kekurangan SDM bukan menjadi masalah. Toh, ini hanya soal manajemen dan kemauan menindak. Saya rasa Jogja juga punya banyak ahli yang mumpuni di bidang ini. Mosok banyak universitas gak ada ahlinya sama sekali. Kan ya gak mungkin.
Catatan lainnya dari masalah ini adalah perlunya duduk bersama setiap instansi yang berkaitan. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Yang ada ya seperti ini, penyelesaiannya ya tidak menyeluruh. Dunia wisata bukan hanya melulu tentang menyediakan objek wisata saja. Tapi juga bicara mengenai edukasi para pelakunya. Jika ingin serius memperbaiki kesejahteraan warga melalui pariwisata maka perbaiki tata kelolanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa bisnis perpakiran berkaitan dengan urusan perut. Ada yang salah dengan distribusi pendapatan dan kesejahteraan di masyarakat. Maka inilah yang harus ditelisik lebih dalam.
Sering-seringlah ke lapangan, kalau perlu menanggalkan atributnya. Pahami apa yang menjadi kebutuhan mereka, fasilitasi, kemudian buat program yang strategis dan berkelanjutan. Saya juga mengapresiasi para petugas parkir yang mengemban amanah dengan teguh dan jujur. Sebagai rakyat jelata, permintaan saya sepele saja kok. Jika memang Jogja Berhati Nyaman, pliss wujudkan. Itu saja. (*)