Beberapa hari belakangan jagad media sosial sedang ramai membicarakan sebuah tayangan sinetron dari sebuah stasiun televisi swasta. Netizen membicarakan salah satu pemeran dalam sinetron tersebut yang dirasa kurang pantas dengan usia aslinya. Seorang remaja putri berusia 15 tahun yang mengemban peran sebagai istri ketiga. Sebuah catatan penting tuntuk televisi Indonesia.
Dalam beberapa artikel juga disebutkan bahwa konten dari sinetron tersebut menyalahi moral dan norma sosial karena mengandung hal-hal yang kurang pantas menjadi tontonan publik seperti pernikahan di bawah umur, indikasi pedhophilia, hingga meromantisasi poligami. Namun di sisi lain tidak sedikit netizen yang memberikan komentar bernada baper (bawa perasaan) karena menilai adegan yang disuguhkan membuat mereka terhanyut dalam jalan cerita sinetron tersebut.
Melalui fenomena ini kita dapat melihat bahwa para netizen maupun beberapa kalangan telah lebih kritis dalam menilai suatu konten media televisi. Wabilkhusus televisi Indonesia. Kita mulai menyadari bahwa hampir setiap media dengan sangat mudah terhubungan satu sama lain. Sebagai contoh, tulisan tentang kritik terhadap sinetron ini pertama kali diunggah di media sosial Instagram, lalu dengan mudah berkembang menjadi artikel cetak, opini, bahkan berita. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi antar media di Indonesia, terlepas dari pembuat berita dan konten di dalamnya.
Perubahan Wajah Televisi Indonesia
Mengapa akhirnya saya tertarik untuk menuliskan tentang hal ini? Dalam suatu mata kuliah bertajuk Televisi Indonesia, saya kembali tertarik untuk menganalisa bagaimana televisi memproduksi sebuah program. Saya merupakan seseorang yang tumbuh dengan menonton televisi, khususnya kartun anak-anak, acara memasak, acara petualangan, dan lain sebagainya. Beranjak dewasa, saya menyadari bahwa program-program ini tergusur oleh sinetron, reality show, hingga beberapa acara baru yang membuat sebagian program tersisih. Ketika kecil dahulu, kami sebagai anak kecil harus berjuang untuk bangun pagi demi menonton kartun sebelum berangkat ke sekolah. Meskipun di siang dan sore hari kami dapat menontonnya kembali, salah satu ingatan yang melekat tentang televisi adalah acara kartun pagi yang menjadi teman sarapan bagi.
Baca juga : Sarapan adalah Koentji
Pada fase orang dewasa, terkadang muncul pemikiran kegiatan menonton televisi menjadi hal yang mewah. Ketika menyadari bahwa program televisi Indonesia telah mengalami banyak perubahan, generasi-generasi terdahulu mulai merindukan acara televisi yang berbobot serta berkualitas sesuai dengan target pemirsanya.
Tidak hanya sampai di situ, perubahan wajah televisi Indonesia juga terlihat dari rating program yang tidak selalu dicantumkan. Saya ingat ketika dahulu menonton televisi tidak sengaja menangkap simbol R (remaja), BO (Bimbingan orang tua) di sebelah kiri atau kanan atas layar. Lambat laun saya baru mengerti bahwa simbol-simbol tersebut merupakan cara stasiun televisi untuk memberitahukan segmentasi pemirsa acara tersebut.
Stasiun Televisi dan Citraannya
Melalui perubahan yang terjadi, kita sebagai pemirsa pada akhirnya juga disadarkan bahwa setiap stasiun televisi memiliki ciri khas dan tujuannya masing-masing. Penyiar berita, edukasi, kompetisi, hiburan, infotainment, merupakan sedikit banyak sebutan bagi masing-masing stasiun televisi swasta. Kita diajak untuk menyadari bahwa channel dan stasiun yang semakin banyak memungkinkan adanya kompetisi serta hegemoni antar stasiun televisi. Mereka berlomba-lomba membuat program yang dapat menarik pemirsa sehingga dapat mempertahankan eksistensi stasiun televisi tersebut.
Baca juga : Sastra Anak untuk Semua Usia
Mengingat setiap stasiun televisi memiliki visi misi serta tujuan masing-masing dalam mempertahankan eksistensi, sudah selayaknya kita sebagai pemirsa juga melakukan hal yang sama. Pada akhirnya, kegiatan menonton televisi adalah suatu hal yang dapat kita kendalikan. Kita diajak untuk berpikir kritis dan berlaku bijaksana terhadap setiap program yang ditayangkan. Tidak hanya semata-mata untuk dinikmati, namun juga disaring dampak positif dan negatifnya.
Lantas, ketika menghadapi perubahan-perubahan ini, apa yang dapat kita lakukan sebagai pemirsa yang cerdas? Kita perlu menyadari bahwa keberadaan televisi sebagai pengembangan media penyiaran merupakan baik adanya. Selain itu, program-program yang ditayangkan sudah selayaknya mempertimbangkan segmentasi pasar dan sasaran penonton. Hal yang tak kalah penting ialah integritas antara stasiun televisi dan komisi penyiaran Indonesia. Terkadang suatu program hanya menginginkan lulus sensor namun mengabaikan isi program tersebut. Mungkin sebagian masyarakat bertanya-tanya, sensor seperti apa yang telah dilakukan jika banyak hal di dalam konten program tersebut dinilai tidak pantas ditayangkan?
Sebagai suatu media yang besar, televisi mempunyai kekuatan untuk menjadi pengaruh, pemersatu, bahkan penggiring opini publik. Oleh sebab itu, kegiatan menonton televisi tidak hanya berhenti sampai penerimaan informasi, namun juga dapat membandingkan informasi dari media lain. Di samping itu, orang dewasa sudah selayaknya menjadi pembimbing anak-anak dalam kegiatan menonton televisi.
Mengarahkan mereka menonton acara sesuai usia, membuat pengaturan channel, dan membatasi waktu menonton televisi merupakan sedikit cara yang dapat dilakukan untuk mencegah anak-anak dari dampak negatif program televisi. Dengan demikian televisi tidak hanya sekadar menjadi suatu media penyiaran, melainkan media edukasi dan hiburan sesuai dengan program yang ditayangkan.