Corona memang berbahaya, tapi kepanikan membunuh Penderita Corona lebih cepat…
Sebagai penyintas virus Corona, saya merasakan betul detik detik kengerian akibat virus ini. Iya, saya memang OTG. Benar, setelah mendapat vonis positif Covid 19, nafsu makan saya malah meningkat. Namun, saya kaget karena mendengar banyak orang meninggal dengan tiba tiba. Salah satu cerita yang saya dengar adalah ketika kerabat saya yang saturasi oksigennya di kisaran 90an, tiba tiba esok paginya saturasi oksigen 70 terpampang di mesin saturasi oksigen. Tidak sampai dua hari, ia meninggal.
Corona ini benar benar mengerikan. Yang lebih parah, Corona juga menyebabkan kepanikan dimana kepanikan inilah yang lebih berpotensi membunuh penderita Corona. Kok bisa?
Bukan Dokter, Bukan Sihir
Gak perlulah saya menjelaskan bahwa saya bukan dokter. Namun, seenggaknya, saya punya pengalaman dengan Corona. Jujur, keberadaan pandemi ini membuat panik. Mau tahu siapa temannya panik? Apalagi kalau bukan matinya nalar. Jangan kaget kalau banyak orang tidak memakai nalarnya. Kalau saya sih pribadi sadar diri mengerti kalau saya tidak memiliki ijazah kesehatan umum apalagi dokter. Waktu masih SMPpun nilai ekstrakurikuler Pramuka saya juga buruk. Jadi, saya endak mau itu berlaku bak dokter. Ketika saya butuh pengetahuan, maka saya bertanya ke dokter beneran.
Ealah, tapi di era pandemi ini, banyak yang mendadak jadi dokter. Mereka kayak ngerti banget begitu soal Corona. Obat obat keras langsung diracik untuk diminumkan ke diri sendiri atau kerabat yang menderita corona. Jadi, kalau dokter Lois ngomong ada yang meninggal karena obat ya saya agak percaya. Bukan karena interaksi obat lalu menyebabkan kematian. Namun karena mendadak banyak orang jadi dokter. Lalu mereka meminum obat hasil pencarian mbah Google hingga bablaslah mereka karena minum obat dengan ngawur.
Kematian Karena Kebingungan
Jika negara lain berdebat mengenai bagaimana cara mengatasi corona, negara kita masih berdebat tentang, “apakah covid 19 ada atau tidak?”. Sungguh perdebatan level kita ini membuang buang waktu. Yang tidak percaya terlihat menyebalkan karena nyatanya ya emang banyak yang menderita corona. Namun yang percaya kadang juga ngawur karena tindakannya berlebihan.
Om saya misalnya, buru buru memborong tabung oksigen padahal dia masih oke oke saja. Tante saya buru buru memborong air susu beruang supaya imunnya kuat. Dan kemudian ya itu, para pahlawan kesiangan tiba tiba belajar kedokteran via mbah Google dan mendadak bisa bikin resep sendiri. Haduh, nyebelin ya?
Padahal kalau kita sedang kebingungan, ada resep yang sangat sederhana. Apa itu? Bertanya! Iya, bertanyalah pada ahlinya. Dokter dokter relawan yang siap 24 jam banyak. Aplikasi juga ada. Kenapa biasanya orang malah bertanya pada orang yang salah. Menurut saya, balik lagi, orang sudah terlanjur panik dan nalarnya tidak terpakai dengan baik. Jadi pada akhirnya, banyak kematian terjadi karena kebingungan. Coba seandainya orang bersikap kalem dan logis, banyak nyawa bisa tertolong. Lalu, kenapa banyak orang malah enggan berbicara dengan dokter.
Isu oh Isu…
Di tengah pandemi corona, malah muncul gerakan kepanikan baru. Kepanikan ini lahir dari isu bahwa beberapa pasien sengaja di-covid-kan. Tidak hanya itu saja, ada isu lain yang mengatakan bahwa corona ini menjadi ladang bisnis bagi rumah sakit dan farmasi. Gak usah jauh jauh juga, di awal pandemi, menteri kesehatan dan IDI memberikan keterangan dan penjelasan berbeda. Dua otoritas ini jelas berada pada level yang sama. Lha ketika mereka tidak kompak, apa enggak wajar kalau muncul rasa kepanikan dan kebingungan di antara masyarakat luas?
Akibat kepanikan ini, kita tidak perlu terkejut ketika akhirnya masyarakat tidak percaya pada otoritas kesehatan dan bersikap sesuai instingnya (dimana instingnya ya tidak bisa menjadi patokan yang baik). Gara gara kejadian ini, makin runyamlah keadaan. Banyak pasien yang harusnya dirawat malah isoman di rumah. Banyak protokol kesehatan terabaikan karena masyarakat kadung tak percaya dengan otoritas. Corona meledak meski sebenarnya banyak cara untuk mengontrolnya. Namun, kontrol itu tidak berhasil karena kepanikan. Kepanikan lagi lagi membunuh penderita corona.
Sampai Kapan?
Ah iya, sampai kapan kita remuk karena tidak mampu mengontrol emosi selama pandemi? Ah embuh, beberapa nakes yang menjadi korban di garda terdepan sudah menggaungkan Indonesia terserah. Tapi, mereka tetap melayani para pasien korban keganasan virus corona. Masalahnya, sampai kapan mereka betah menghadapi cobaan yang lahir dari kepanikan dan bukan karena virusnya sendiri??
Ilustrasi : Adam Niescioruk
Baca juga cerita kami tentang Corona lainnya:
Tim Kubur Cepat Jenazah Corona: Cerita Tentang Mereka
Corona dan Idul Adha, Soal Empati dan Tanggung Jawab
Corona di Jepang, Sebuah Cerita dari Anak Negeri