Senin malam, usai menjalani hari panjang bekerja dari rumah, saya menelepon kawan lama asal Yogya. Saat ini ia dan keluarga tinggal di Jakarta. “Piye kabare kowe?” saya membuka percakapan. “Penyakitnya sudah mampir keluargaku, Nug,” jawabnya lemas. Saya ikutan lemas. Ia dan keluarga kaget mendapati gejala yang diikuti hasil tes positif. Protokol kesehatan dijaga ketat. Makan sehat, berjemur, dan olahraga juga rutin. “Kurang apa?” keluhnya.
Pertanyaan piye kabare kowe membawa obrolan ke arah yang tidak disangka. Pertanyaan singkat, yang biasanya basa-basi, justru membuka kesempatan teman saya untuk bercerita panjang. Sekarang ia menjadi tumpuan sebagai satu-satunya anggota keluarga yang sehat. Ia sendiri yang mendaftarkan tes dan mencari obat untuk keluarga. “Harus cepat karena berlomba dengan waktu,” katanya. Namun, tidak semua orang menunjukkan urgensi yang sama.
Teman saya bercerita betapa ia mengamuk kepada petugas klinik yang klelar kleler bergerak sangat lamban. Petugas di klinik itu seakan tinggal di dunia lain. Planet tanpa pandemi. “Bikin janji jam dua, tes baru mulai setengah empat!” ujarnya kesal. Itupun ditambah dengan beberapa orang yang didahulukan oleh petugas klinik dengan alasan kepentingan karyawan. Pertanyaan piye kabare kowe mungkin jadi biasa-biasa saja untuk ditanyakan ke karyawan klinik itu. Mereka baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. “Sementara aku, dan beberapa peserta tes lain, deg-degan! Sungguh deg-degan,” keluhnya. Benar saja, hasil tes anggota keluarganya positif.
Kondisi keuangan yang jauh dari mewah membuat teman saya mengejar fasilitas obat gratis dari pemerintah. Beruntung ada pesan singkat masuk dari Kementerian Kesehatan memberitahu obat gratis yang bisa ia dapatkan. Jarak rumah ke apotik penyedia obat sekitar satu jam. Satu hari menunggu, tidak ada kabar. Ia menelepon petugas apotik dan mendapat jawaban stok habis.
“Lalu, saya harus bagaimana?”
“Biasanya satu dua hari akan ada stok baru, Pak.”
“Oke, jadi saya tunggu satu dua hari ya? Pasti ada ya?”
“Belum tentu, Pak. Bisa saja tidak ada.”
(menarik napas panjang) “Saya bisa cari di apotik lain? Ada info apotik yang sedia stok obat itu?”
“Kami tidak tahu, Pak.”
“Oke. Seandainya dalam dua hari sudah ada, bisakah saya ambil sendiri supaya lebih cepat?”
“Tidak bisa, Pak. Harus menggunakan penyedia transportasi yang bekerja sama dengan kami.”
Teman saya diam sejenak. Saya juga terdiam. Piye kabare kowe? Sampai di situ mungkin bingung jawabannya. Bingung harus bagaimana.
“Pikiranku mengawang. Rasanya ada banyak yang harus dikerjakan tapi tidak ada yang bisa aku kerjakan. Malam hari, tanpa sadar, nafasku sesak,” cerita teman saya. Ia sempat panik beberapa saat sebelum akhirnya sadar sesak muncul karena pikiran yang kalut.
Beruntung sekali, tetangga dan saudara yang tinggal di dekat rumah sangat mendukung. Mereka membantu mencarikan obat, makanan, dan buah-buahan untuk keluarga yang isolasi mandiri. Sekali dua tetangga menelepon memberikan dukungan. ‘Piye kabare, mas? Kalau ada yang bisa kami bantu, bilang saja ya,’ membuatnya menitikkan air mata. Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Piye kabare kowe? Terharu dan merasa dikuatkan, jawabnya. “Saat aku kesal pada yang tak peduli, mereka yang peduli berdatangan,” ceritanya.
Ia merawat keluarga sambil tetap bekerja. Kadang bisa bekerja dari rumah, kadang terpaksa keluar. Pantas saja lama tidak nongol di media sosial. “Aku ingin tetap bermedsos, tapi rasanya tidak sanggup. Aku juga tidak baca koran dan menonton berita,” katanya.
Kami berdua terdiam. Ada kalanya doa dan dukungan baik disampaikan tanpa suara. Pertanyaan piye kabare kowe selalu mengiringi perjalanan laki-laki yang berusaha menyelamatkan keluarganya. Doaku untukmu dan keluarga, kawan! Semoga di pertemuan berikutnya, piye kabare kowe bisa diikuti tawa renyah dan cerita ringan tentang karya-karya yang kau buat.
“Kamu sendiri gimana, Nug? Piye kabare kowe?”