Pembangkit listrik tenaga nuklir atau yang disebut dengan PLTN sudah menjadi pembicaraan hangat masyarakat Indonesia sejak bertahun tahun lalu, namun mengapa hingga saat ini Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir tidak ada di Indonesia?
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang direncanakan dibuat di Indonesia harus memikirkan banyak sekali aspek demi keamanan dan kenyamanan bersama sehingga membuat proyek tersebut belum juga terealisasi. Menurut blueprint, pengelolaan energi nasional tahun 2006 – 2025, investasi pembuatan PLTN sebesar 1.05 GW seharusnya sudah dimulai pada 2016, namun hingga saat ini belum tereliasisikan. Kita masih belum bisa melihat hasil rencana tersebut karena banyak sekali yang menjadi bahan pertimbangan yang menguntungkan dan merugikan dari PTLN.
Pro dan Kontra PLTN
Pembangunan PLTN di Indonesia mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak. Salah satu kontra yang paling banyak diserukan adalah keresahan warga Indonesia karena adanya asumsi bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh PLTN lebih besar dibanding dampak positifnya. Hal tersebut terjadi karena adanya beberapa tragedi yang telah melanda beberapa negara lain pengguna PLTN yang kemudian membekas dan menimbulkan persepsi negatif bagi masyarakat Indonesia. Beberapa tragedi yang terjadi membuat Indonesia menjadi berpikir dua kali sebelum menggunakan PLTN ini. Sisi positifnya adalah, kita dapat mengambil hikmah dari tragedi yang terjadi tersebut dan mempersiapkan segala situasi kondisi agar apabila negara kita sudah membuat PLTN maka kejadian serupa tak terulang kembali dan menjadi lebih aman.
Walaupun ada sisi kontra, namun ada juga beberapa pihak yang pro terhadap PLTN karena sudah melihat berbagai dampak positif yang dapat dinikmati. Pertama, dilihat dari sisi efisiensi penggunaan bahan bakar. PLTN termasuk pembangkit listrik yang tidak membutuhkan bahan bakar yang banyak sehingga dapat mengurangi dalam penggunaan bahan bakar fosil, mengingat bahan bakar fosil semakin menipis setiap tahunnya sehingga mau tidak mau akan mendesak negara Indonesia untuk membuat PLTN. Perlu diketahui bahwa pembangkit listrik di Indonesia didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU yang berperan dalam menghasilkan listrik di Indonesia sebesar 43,6% menurut statistik ketenagalistrikan Tahun 2019. Namun sayang seribu sayang, bahan bakar utama dari PLTU tersebut adalah batu bara yang memperparah efek rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim.
Ketika kita melihat PLTN sebagai alternatif penggunaan minim bahan bakar kita bisa membayangkan sebuah perbandingan fakta berikut: bahan bakar utama PLTN yaitu uranium yang digunakan untuk menghasilkan 1 Giga watt per tahun adalah 21 ton uranium sedangkan batu bara yang digunakan PLTU untuk menghasilkan 1 Giga watt per tahun adala 1.310 ton. Nah, dilihat dari perbandingan tersebut, bukankah itu perbandingan yang sangat signifikan dan menjanjikan untuk sebuah pembangkit listrik?
Selain dilihat dari sisi penggunaan bahan bakar ada hal lain yang dapat ditinjau yaitu dari sisi keramahan lingkungan. Pada Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, hasil pembuangan adalah gas didihan air yang didinginkan dan sisa dari limbah uranium yang digunakan kemudian disimpan di bawah tanah yang di lindungi secara benar sehingga tidak mencemari tanah. Sebaliknya kita tahu bersama bahwa di sisi lain pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap, hasil pembuangannya berupa hasil pembakaran batu bara yang didominasi oleh CO2 sehingga mampu menyebabkan efek rumah kaca dan memperparah perubahan iklim.
Belajar dari Tragedi
Ada sebuah tragedi di masa lalu yang membuat beberapa orang berpikir kembali dalam menggunakan tenaga nuklir sebagai pembangkit listrik di antaranya adalah tragedi pada tahun 1986 yaitu Tragedi Chernobyl yang mengakibatkan 28 pekerja meninggal dan menyebabkan debu debu partikel yang bersifat radioaktif menyebar pada kota tersebut sehingga menyebabkan banyak mutasi terjadi pada bagian tubuh manusia, terutama pada bagian tubuh anak anak yang baru saja lahir. Tragedi tersebut terjadi pada reaktor nuklir ke-4 yang menjadi bagian percobaan para ilmuan. Loh, terus kok bisa gagal? Para ahli menilai bahwa kejadian tersebut murni kesalahan manusia dalam hal ini terjadi karena adanya kecelakaan yang disebabkan oleh operator yang mencoba melakukan eksperimen pada daya rendah atau di bawah daya nominal sebelum reaktor dimatikan. Sebetulnya, pada reaktor ke 4 Chernobyl telah dilengkapi sistem otomatisasi, namun untuk kepentingan eksperimen, ternyata sistem otomatisasi yang menghambat daya turun dimatikan. Dengan demikian, sistem penurunan daya dilakukan secara manual dan melampaui batas keselamatan yang disyaratkan sehinga efeknya adalah muncul lonjakan energi yang tidak terduga. Bersamaan dengan itu, ketika operator mencoba mematikan reaktor nuklir secara darurat, maka terjadi lonjakan daya yang sangat kuat sehingga membuat tangki reaktor pecah dan menyebabkan ledakan uap yang disebut Tragedi Chernobyl.
Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
Energi dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir telah berperan signifikan dalam menyumbangkan listrik global dan listrik primer pada sejumlah negara yang menggunakannya, seperti Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Korea Utara, Pakistan, dan masih banyak lagi. Produksi listrik global dengan mengandalkan nuklir telah tumbuh sangat cepat dan sekarang energi dari pembangkit listrik tenaga nuklir ini menyumbang hampir seperlima dari listrik yang dibangkitkan pada negara-negara industri.
Di masa sekarang, para ahli menjadi lebih mengedepankan kaidah keselamatan secara ketat dari sebelumnya dengan merancang pertahanan berlapis untuk menjaga penyebaran zat radio aktif ke luar lingkungan, kaidah ini dirancang dengan sistem fisik penghalang ganda.
Menurut pandangan saya pribadi sebagai orang mengikuti isu-isu terbaru terkait teknologi, akan lebih baik jika negara Indonesia sesegera mungkin memulai mengembangkan teknologi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Dampak negatif yang disebabkan PLTN dapat diatasi dengan persiapan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi yang baik. Dampak positif dari PLTN akan membantu mengurangi emisi karbon yang muncul dari pembakaran-pembakaran batu bara yang saat ini marak dilakukan di Indonesia. Selain itu, Indonesia bisa turut berjuang untuk mengembangkan teknologi dari PLTN yang kemudian akan dirasakan dari masyarakat Indonesia. Hanya saja, yang perlu menjadi catatan dalam hal ini adalah “pilihlah pekerja yang profesional dan ahli di bidangnya, bukan ahli dalam korupsi, namun ahli dalam teknisi”. Akhir kata, semoga PLTN bisa segera terealisasikan.