Kemarin saya malas bangun pagi. Alarm pukul lima buru-buru saya matikan. Sempat sejenak saya bangun. Beringsut dari tempat tidur. Minum air putih lalu kembali tidur. Saya belum mau bangun. Hmm, terus terang, saya tidak mau bangun. Saya menolak untuk menjalani hari. Sangat beda dengan seorang pedagang jajanan pasar!
Hidup toh akan berjalan sama saja seperti kemarin-kemarin. Tetap susah. Pendapatan berkurang drastis akibat pandemi. Berita mencemaskan berseliweran. Pergi ke luar rumah harus selalu waspada, tidak jarang bahkan merasa takut. Saya juga tidak bisa bertemu teman dan keluarga di tempat lain dengan bebas. Hidup macam apa itu? Pagi itu saya belum kenal dengan Mbah Satinem dan kisah hidupnya.
Tidak ada yang menarik di hidup saat ini. Kemarin, hari ini, dan besok rasanya sama saja. Tidak ada yang membuat saya menanti tanpa sabar. Hidup semacam itu buat apa dijalani? Lebih baik tetap tidur menanti situasi membaik. Kalau sudah nyaman, baru bangun lagi. Jalani hidup yang lebih menarik.
Saya baru membuka mata dan berjalan keluar kamar pukul sembilan. Istri saya, Kiky, sudah tuntas dengan 87 macam aktivitas pagi. Dia sudah selesai olah raga, mandi, mencuci dan menjemur pakaian, minum jus buah, belanja lalu masak. Penuh semangat sekali hidupnya. Saya lesu bak seonggok kutang kotor.
Saat itu Kiky asyik menonton tayangan dokumenter penjaja makanan di Kota Yogyakarta. Mbah Satinem namanya. Mbah Satinem seorang pedagang jajanan pasar. Ia murah senyum dan tawa. Hidupnya sederhana namun penuh makna. Suatu hari, Mbah Satinem dan Ibu mendapati Ayah memboncengi wanita lain. Ayah dan Ibu Mbah Satinem bertengkar hebat. Sang Ibu sedih sekali. Kesehatannya memburuk hingga meninggal.
Hati Mbah Satinem sedih dan hancur. Ia mengurung diri di kamar. Namun, kebesaran cinta pada sosok Ibu justru membuat Mbah Satinem bangkit. Cinta yang ia wujudkan lewat ketabahan menghadapi duka dan kegigihan melakoni usaha. Ia kembali berjualan jajan pasar peninggalan Ibunya hingga bisa menghidupi keluarga sampai anak cucu. “Saya akan terus bekerja sampai badan tidak kuat lagi. Ini membuat Ibu saya di surga merasa senang,” ujarnya dalam bahasa Jawa halus.
Suami Mbah Satinem, Jumirah, selalu membantunya menyiapkan dagangan sejak pukul 12 malam. Mereka sudah berusia lanjut. Punya banyak keriput. Namun, keduanya senang bertukar cerita. “Saya mencintai suami saya. Dia senang bercanda. Dia memang tidak tampan, tapi saya juga tidak cantik,” katanya sambil tertawa.
Kisah Mbah Satinem hadir justru saat saya malas bangun pagi karena merasa hidup tidak memihak saya. Kisah Mbah Satinem menampar keras sekali. Hati saya perih mendengar motivasi Mbah Satinem berjualan. Demi kebahagiaan Sang Ibu di surga. Juga untuk menambal genting rumah yang bocor. Mbah Satinem sadar dirinya bukan siapa-siapa. Mbah Satinem tahu setiap manusia adalah teramat kecil di kehidupan yang maha besar. Tidak sepantasnya mengeluh. Ia menjalani apa yang bisa ia jalani. Makna hidup yang bermanfaat, tidak bisa lebih sederhana dari itu. “Hidup itu indah,” ujar Mbah Satinem sambil terkekeh.
Mbah Satinem mengarahkan tujuan hidup ke luar. Dia hidup dan berkarya semata untuk orang yang dia cintai. Mbah Satinem tidak pernah malas bangun pagi cuma karena hidup sedang tidak enak. Ia justru tetap terjaga untuk menyiasati situasi agar keluarganya bisa tidur nyenyak. Saat hidup seakan tidak memberi harapan, Mbah Satinem berdiri tegak menjadikan dirinya harapan bagi orang lain.
Sementara saya berpikiran seharusnya hidup memanjakan saya. Seharusnya cuan berlimpah dengan usaha minimum. Seharusnya saya bisa bebas pergi ke luar rumah. Seharusnya saya bisa begini-begitu. Semua mengarah ke dalam. Kenikmatan diri sendiri. Saya tidak memikirkan orang lain. Saya bahkan tidak berpikir bahwa pekerjaan dan aktivitas saya seharusnya bisa bermanfaat untuk orang lain, sekecil apapun itu.
Bukankah hidup manusia sejatinya memberi manfaat untuk orang lain? Saya kira kita lahir dengan sehat pun untuk melengkapi kebahagiaan orang tua. Saya bisa bekerja saat ini karena dibiayai sekolah oleh orang tua yang menghabiskan pikiran, tenaga, dan waktunya untuk anak-anaknya. Saya bisa minum jus karena Kiky membuatkannya untuk saya. Bodoh benar saya lupa itu semua.
Saya menarik napas dalam. Baiklah. Saya juga mau menjadi manusia sederhana dan bermanfaat seperti Mbah Satinem. Seorang pedagang jajanan pasar. Cara paling mudah, katanya, adalah dengan tersenyum. Tebarkan semangat positif.
“Kun, selamat pagi!” saya menyapa Kiky.
“Ini udah siang. Kenapa senyum-senyum?”
“Enggak apa-apa.”
Baca Juga :
Bangun Pagi itu Sebuah Hal yang Seru!