Bikin pertanyaan sendiri, jawab sendiri. Itulah ciri khas dad jokes, atau humor bapack-bapack. Saya tidak tahu kenapa jenis lelucon ini disebut sebagai humor bapak-bapak. Mungkin karena ibu-ibu jarang sekali bercanda macam ini. Tapi toh anak-anak banyak juga yang bercanda model ini. Bayangkan saja kalo ada antologi dad jokes, akan jadi jayus atau cerdas ?
“Jajanan pasar apa yang bikin kelar Perang Dunia II ?”
“Hiroshima dan Nagasari“
Struktur Dad Jokes
Humor bapak-bapak bermain di ranah bahasa. Antara permainan homofon, homograf, atau homonim. Kalimat yang dipakai pun pendek-pendek. Paling banter 2 atau 3 kalimat saja. Satu kekhasan humor bapak-bapak yaitu jangan pernah mencoba menganalisis dimana letak kelucuannya. Itu malah jadi jayus dan batal lucu. Reaksi yang umumnya diharapkan dari humor bapak-bapak adalah koreksi kata dari pemirsanya. Koreksi bisa disampaikan lugas, atau dalam hati saja.
Dad Jokes ini juga mengandung das sein dan das sollen. Ada kesenjangan antara apa yang seharusnya diucapkan, dan apa yang ternyata diucapkan. Seperti di contoh tadi, yang mestinya Nagasaki jadi Nagasari. Plesetan itu juga pakai das sein dan das sollen. Tapi untuk bisa sampai tahap lucu, antara pencerita dengan pendengar harus punya konteks pikiran yang sama. Kalo tidak paham konteks, jadinya jayus. Lucunya hilang.
Alternatif Humor Cerdas
Jaman ini kita butuh humor cerdas. Mungkin tidak selalu edukatif, karena humor yang edukatif memang berat, butuh waktu, dan hasil akhirnya tidak selalu lucu. Setidaknya kita bisa memberikan asupan humor yang sehat bagi masyarakat kita. Ini bukan perkara mudah, apalagi kita ada di tengah gempuran tren humor tidak sehat macam prank dan bullying. Ibarat makanan, humor cerdas itu menu berat bergizi tinggi. Dad jokes itu cemilan sehat, dan prank itu junk food.
Baca juga : Candaan Bernada Seksual, boleh nggak sih?
Saya masih berpikiran bahwa dad jokes ini bagian dari humor cerdas. Pertama, orang harus menguasai bahasa dan kosakata. Kedua, orang perlu menganalisis konteks pikiran pendengar atau pembaca. Ketiga, orang perlu terus menerus mencari inovasi bahan dad jokes yang ‘bersih’. Artinya, konten candaan tidak menyinggung orang lain atau pihak manapun, tidak pula bermaksud merendahkan pihak lain. Dad jokes juga butuh kecerdasan untuk membuat orang berkomentar “kok ya kepikiran soal itu lho?” Kuncinya ada pada inovasi konten, sehingga bisa membuat mind blowing.
Kejenuhan Dad Jokes
Banyak orang berusaha bercerita humor bapak-bapak, tapi minim kreativitas. Orang hanya mereplikasi konten-konten lama. Masih mendingan kalo ada nama orang atau kata yang sedikit diganti. Tetapi kalo sama persis, itu membosankan. Misalnya “Lele apa yang bisa bicara?” “Lelepon genggam”. Dad Jokes macam ini sudah ada sejak abad lalu ketika Coca Cola menyelipkan kata-kata humor di balik tutup botolnya. Karena sudah direplikasi ribuan kali, jadinya membosankan. Bahkan tidak menimbulkan senyuman kecil pun. Orang yang mendengarnya cuma bisa komentar “Hmmmm”
Dad jokes juga jadi jayus ketika kontennya terlalu dipaksakan. Beberapa orang membuat konten yang sifatnya maksa. Homofon atau homonim pun jauh dari aslinya. Sependek penangkapan saya, dad jokes yang dipaksakan bisa muncul karena motivasi pencerita yang ingin mengejek pihak lain. Ini paling banyak terjadi di dunia politik. Okelah kalo orang berkelakar “Ban apa yang gampang hilang ? Bansos.” Potongan katanya oke . Ban-sos. Tapi kalo orang bekelakar “Ban apa yang serem? Banteng Merah.” , bagi saya ini maksa. Pertama, tidak ada banteng warna merah. Tapi kalo mau mengejek partai pemerintah, caranya memotong kata tidak bisa ban – tengmerah. Itu maksa.
Maka dari itu kita bayangkan saja. Kalo di jaman ini muncul antologi dad jokes, akan jadi jayus atau cerdas ?