Peristiwa G30S merubah Indonesia dalam banyak hal. Salah satunya adalah dalam hal diskriminasi. Ya, kejadian G30S menjadi pembenaran pemerintah waktu itu untuk mempersulit kehidupan warga keturunan Tionghoa termasuk di dalamnya penghapusan berbagai unsur budaya Tiongkok termasuk pertunjukan Liong Samsi, perayaan Imlek dan Sekolah Model Tionghoa. Di Muntilan misalnya, Sekolah Model Tionghoa terakhir ditutup sekitar akhir dekade 60an. Kini bekas sekolah itu menjadi ruang ruang aula untuk kegiatan klenteng yang kebetulan lokasinya berada di depan sekolah itu. Tak banyak yang tahu, sekolah model Tionghoa menyimpan nilai plusnya sendiri. Seperti apa?
Kurikulum Praktis
Sekitar dua tahun yang lalu, saya berbincang dengan Prof. Hap Sien, salah seorang pengamat sejarah di kota Muntilan. Ia bercerita bedanya sekolah model Tionghoa dengan sekolah Katolik pada waktu itu. Menurutnya, sekolah model Tionghoa sangat ringkas. Mereka hanya mengajarkan berhitung, membaca dan menulis. Sementara itu, sekolah model barat banyak menekankan pada berbagai mata pelajaran yang tidak terhitung banyaknya.
“Orang Belanda itu cita cita paling tinggi jadi pegawai kerajaan atau PNS. PNS yang baik memang harus mengerti banyak hal,” jelas Hap Sien. “Tapi kalau orang Tionghoa gak mikir kesitu, mereka mikir gimana caranya bisa dagang dengan baik. Kebutuhannya ya hanya berhitung, membaca dan menulis saja.”
Tidak Kepikiran Jadi Pegawai
Menurut Prof. Hap Sien, orang Tionghoa tidak pernah kepikiran menjadi pegawai. Pada waktu itu orang Tionghoa tahunya ya hanya berdagang. Hal ini mungkin terjadi karena orang Tionghoa yang telah mengalami banyak bentuk diskriminasi tidak nyaman bekerja di lembaga lembaga negara. Selain itu, berdagang juga lebih menjanjikan keamanan finansial serta sudah menjadi semacam tradisi bagi orang Tionghoa.
“Jaman dahulu om dan tante akan bertanya ‘kamu mengerjakan apa?’ yang secara harafiah bisa kita artikan bahwa mereka menanyakan kamu punya bisnis apa,” jelas pria yang mendapatkan gelarnya dari Universitas Indonesia itu. “Kalau sekarang ya sudah mulai nanyanya kamu kerja apa?” tambah pria yang menggemari budaya Jawa ini.. Hal ini menunjukkan bahwa orang Tionghoa mulai bergeser dan menerima kemungkinan bahwa mereka bisa saja kerja ‘ikut orang’ dan berkarir sebagai pegawai professional.
Inspirasi Sekolah Model Tionghoa
Apa sebenarnya inspirasi yang bisa kita ambil dari sekolah model Tionghoa? Salah satunya adalah membuat sekolah yang praktis dan berorientasi pada entrepreneurship. Toh kenyataannya Indonesia kekurangan pengusaha yang bisa membuka lapangan pekerjaan. Tiap tahunnya, antrean untuk menjadi PNS juga masih mengular. Di satu sisi ini, pertanda bahwa banyak anak muda ingin mengabdi pada negara, tapi di lain sisi ini menunjukkan banyak talenta muda yang terbuang sia sia karena terlalu njlimet di birokrasi. Masih banyak anak muda yang khawatir menjawab tantangan kehidupan yang lebih liar dan tidak pasti sebagai pengusaha.
Soal kurikulum juga, harus kita akui memang ada ilmu ilmu yang tidak terlalu perlu untuk diajarkan ke murid murid karena tidak relevan untuk kehidupan mereka. Kecuali, tentu saja, kalau mereka memang ingin berkarir di bidang tertentu. Masalah ini bisa kita atasi dengan menjadikan mata pelajaran yang tidak terlalu penting menjadi mata pelajaran elective. Dengan begini, pendidikan benar benar menyiapkan seorang anak untuk berkompetisi, bukan sekedar memenuhi kewajiban edukasi semata. Toh gunanya sekolah ya bukan agar anak mendapat nilai bagus di sekolah tapi berkompetisi di dunia nyata.
Baca juga kisah kisah pendidikan lainnya:
Sama Sama Tionghoa, Tapi Sin Gek Memberi Banyak Inspirasi
Perempuan Indonesia dan Kata Merdeka: Sebuah Perjalanan
[…] Sekolah Model Tionghoa: Kurikulum Ringkas dan Praktis […]