Penurunan ekonomi karena adanya kebijakan PPKM tidak bisa terhindarkan. Berbagai kabar buruk kita terima, banyak usaha UMKM tutup. Pemerintah juga banyak menutup kawasan wisata, salah satunya di Malioboro. Sejak PPKM Darurat, hampir tidak ada kendaraan maupun orang melintas di area Malioboro. Hal ini jelas berpengaruh bagi pengusaha yang menggantungkan nasibnya di kawasan ikonik ini. Mendadak muncul berita yang lebih mengagetkan. Setidaknya, ada sepuluh ruko Malioboro dijual dan bisa anda tawar sekarang. Sepuluh kios jelas bukan angka sedikit. Apalagi, nilai tanah di Malioboro sangat tinggi. Mengapa begitu ada program PPKM banyak pemilik ruko ingin menjual bangunan mereka?
Penjualan Menurun Tajam
Nathanael Budi Susilo yang akrab mendapat panggilan Cun Cun, seorang aktivis pertanahan di Malioboro, menyanggah bahwa penjualan kios terjadi karena PPKM.
“Enggak, memang banyak usaha yang merugi di sini sejak lama. Banyak dari pemilik toko dan kios tidak mampu lagi mengelola aset mereka. Mereka dalam kondisi ekonomi yang sulit. Bahkan ada yang sampai bercerai,” jelas Cun Cun. “PPKM ini hanya makin mempersulit kondisi ekonomi mereka. Makanya mereka memutuskan untuk menjual aset aset mereka.”
Akibat Penataan PKL Yang Semrawut
Cun Cun menceritakan kondisi saat ini. Di depan toko dan kios, banyak pedagang kaki lima yang berjualan dan menutupi usaha toko dan kios Malioboro.
“Akses sulit, bagaimana toko dan kios mau ramai?” ujar Cun Cun. Cun Cun juga menambahkan bahwa dulunya penjual kaki lima di depan toko toko dan kios Malioboro tidak sebanyak dan sesemrawut ini. Namun, sejak tahun ‘80an, situasi makin lama makin memburuk.
“Dulu para pedagang toko ya bersikap ya sudahlah kalau ada PKL di depan toko kami. Toh jumlah mereka sedikit dan kebanyakan adalah penduduk asli yang bertempat tinggal di belakang Malioboro. Namun kemudian, jumlah PKL ini bertambah dengan signifikan hingga menutupi toko dan kios utama.”
Banyak PKL Merupakan Pendatang
Cun Cun mengaku pernah meminta agar pemerintah bertindak tegas. Sebab, kebanyakan PKL juga bukan merupakan orang asli Jogja. Ia mengaku sebaiknya pemerintah kota mengecek asal usul KTP mereka serta legalitas mereka berjualan di sepanjang jalan Malioboro.
“Ya, kalau cuma penduduk di sekitar sini seharusnya tidak sebanyak itu. Namun lama kelamaan jumlah mereka banyak dan mengganggu akses toko. Hal ini hal yang sangat kita sayangkan karena pemilik toko dan kios adalah sosok sosok yang taat membayar pajak dan aturan,” kata Cun Cun.
“Dahulu, kita diminta untuk memundurkan lokasi toko oleh walikota Soejono. Kami nurut saja. Waktu itu kami bahkan menggunakan biaya sendiri untuk memundurkan muka depan toko kami. Setelah kami mundurkan, eh lokasi ini malah menjadi tempat berjualan PKL yang legalitasnya belum jelas,” ujar Cun Cun. Cun Cun sendiri pernah meneliti masalah ini dan menuliskannya dalam sebuah buku.
Belum Tentu Laku
Cun Cun mengatakan, bahwa meski sepuluh ruko Malioboro dijual, ia tidak yakin ruko ruko itu akan segera laku. Ia menjelaskan bahwa akses masuk ke toko dan kios sudah sangat sulit. Selain itu juga, banyak bangunan sudah berusia cukup tua. Karena itu, jikapun ada yang membeli, si pembeli harus melakukan renovasi besar besaran.
“Tambah lagi ini itu kawasan bisnis,” jelas Cun Cun. “Pajak Bumi Bangunannya termahal di seluruh provinsi. Dengan imbal balik yang tidak pasti, siapa sih yang mau berbisnis di sini?”
Keinginan Cun Cun
“Saya sudah mengajukan gugatan berkali kali ke PTUN. Bahkan saya menang. Namun yang saya lihat, kok malah saling lempar tanggung jawab ya. Sayapun kebingungan. Ya sudahlah, saya tidak ingin terlibat lebih jauh dalam masalah ini. Pesan saya, tolong ada ketertiban dan keadilan. Semisal saja rencana Malioboro menjadi area wisata pedestrian (tanpa mobil dan kendaraan bermotor lainnya-Red), toko toko dan kios makin tidak laku karena makin tertutup pedagang kaki lima yang akan sampai ke area tengah,” kata Cun Cun.
Penelusuran Pakbob.id
Beberapa waktu yang lalu, saya juga menelusuri area Malioboro. Memang seperti yang Cun Cun jelaskan, banyak kios kios tampak lelah dan tua. Toko dan kios di Malioboro tampak lelah. Sementara itu, area depan toko dan kios tampak ramai karena pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya yang membludak hingga kemana mana. Selama ini saya tidak tahu bagaimana sistem kerja PKL di Malioboro. Retribusi apa yang mereka bayarkan, bagaimana mereka mendapat pengaturan di sana? Dan Seterusnya. Ke depan masalah ini menjadi pekerjaan rumah bersama. Jika tidak, usaha toko dan kios di Malioboro akan semakin lesu.
Mungkin di masa depan, permasalahan tidak akan berhenti hanya sampai sepuluh ruko malioboro dijual. Bisa jadi ke depannya toko dan kios akan benar benar menjadi bangunan mati, saksi bisu kejayaan Malioboro di masa lalu.
Baca juga tulisan kami lainnya mengenai Malioboro:
Parkir Jogja Mahal, Fenomena Tak Berkesudahan