Meski jarak dua kota ini hanya 60 kilometer, tetapi pola persebaran kuliner bisa beda banget. Baik kuliner Jogja maupun Solo, sama-sama berbasis pada rasa manis. Sebagai kawasan Vorstenlanden di era kolonial, Jogja dan Solo jadi salah satu lumbung industri gula. Rasa manis pada kulinernya jadi satu efek samping tersendiri. Bahan dasar boleh dikata relatif sama. Toh jenis sumber makanan orang Jogja dan Solo sama saja. Tapi anehnya, betapa sulitnya kita mencari kuliner khas Solo di Jogja. Sulit bukan berarti nggak ada sama sekali, lho. Ada, tapi tidak banyak. Yang ada pun juga belum tentu berkualitas.
Cabuk Rambak dan Nasi Liwet
Seumur-umur saya belum pernah menemukan penjual Cabuk Rambak di Jogja. Padahal kalo di Solo, saya masih gampang menemukannya. Di malam hari, menu Cabuk Rambak biasa dijual bebarengan dengan Nasi Liwet. Kalo di pusat kota Solo, carinya di kawasan Nonongan sampai Gajahan. Kalo di Jogja, nggak akan ketemu makanan macam itu.
Nasi liwet, ya ada sih di Jogja. Tapi nggak banyak. Di Solo, nasi liwet jadi makanan yang sangat biasa buat sarapan, atau untuk ganjal perut di malam hari. Itu makanan rakyat jelata. Tapi di Jogja, cari penjual nasi liwet itu susah. Ada pun, harganya relatif mahal dan menurutku nggak worthed.
FYI, nasi liwet beda dengan nasi uduk lho. Meski sama-sama pakai nasi gurih yang bercitarasa santan, tapi topping dan porsinya beda. Nah kalo Cabuk Rambak, jangan harap bakal ketemu rambaknya. Yang ada hanya potongan ketupat, karak nasi, dan bumbu wijen yang pedasnya mild.
Tahu Kupat
Kuliner satu ini sering tersesat jadi Kupat Tahu, Tahu Guling, Tahu Tek, atau bahkan Tahu Gimbal. Padahal masing-masing itu beda. Di Solo, pedagang Tahu Kupat mudah ditemukan dengan gerobaknya yang khas warna hijau dan merah. Jam operasional nya pun terbatas, hanya pagi sampai sore. Dengan kocek 8000 rupiah kita bisa dapat seporsi Tahu Kupat. Tapi kalo di seluruh DIY, yang jual Tahu Kupat ala Solo bisa kita hitung dengan jari tangan. Langka !
Es Kampul
Ini minuman yang sebetulnya sepele saja. Es teh manis diberi irisan jeruk peras. Meski mudah membuatnya, ternyata sulit menemukan warung di Jogja yang menjual Es Kampul. Kenapa disebut es Kampul? Karena irisan jeruknya akan kampul-kampul alias terombang-ambing di permukaan teh. Ini lain dengan lemon tea, lho. Prinsip dasar lemon tea itu teh diberi perasan jeruk nipis.
Sementara es Kampul, jeruknya tidak diperas. Cukup dengan memasukkan potongan jeruk peras, barang satu atau dua potongan saja. Reaksi kimia antara teh dengan perasan jeruk itu menghasilkan rasa yang unik. Ada sepet, manis, agak kecut, dan ada pahit karena dari kulit jeruknya. Palling nikmat ketika di siang hari nan panas, kita seruput es Kampul. Cuma masalahnya, di Jogja nggak ada.
Babi Kuah
Kuliner haram memang sudah merambah Jogja. Masakan gaya Bali, ada. Masakan gaya Manado, Chinese, atau Medan, ada. Cuma, satu menu babi kuah ini tidak saya temukan di Jogja. Kalo di Solo, Babi Kuah mudah kita temukan di sekitar Pasar Gede Harjodaksino, atau di sekitar Kampung Sewu. Resepnya kalo kita cari di google, ada. Cuma realitasnya di Jogja, menu itu tidak ada. Bahkan dalam kesempatan Pekan Budaya Tionghoa di kawasan
Di era modern yang kita bisa mencoba meracik masakan ala mana pun, masak iya tidak ada orang Jogja yang kepikiran menjual makanan khas Solo? Ketika menu Eropa, Arab, Jepang, Korea, NTT, Medan, Aceh, Bandung, atau Maluku pun bisa laris di Jogja, kenapa yang makanan khas Solo tidak bernasib sama?
Apakah karena efek konflik antara 2 wilayah kerajaan berabad-abad silam yang menyisakan perbedaan tajam? entahlah. Memang, betapa sulitnya mencari kuliner khas Solo di Jogja. Akhirnya, cara terbaik untuk menikmati kuliner khas Solo, ya piknik seharian ke kota Solo untuk menikmati kuliner di sana.