Sempat terbesit tanya saat saya bermain kartu UNO tempo hari. Kenapa ya UNO nggak menjadi olahraga Olimpiade? Kebetulan saya punya skill yang gak buruk buruk amat di permainan ini. Ya, jelas lebih baik dari skill saya saat main basket atau sepak bola tentunya, kalau UNO menjadi olahraga Olimpiade kan seenggaknya mimpi saya menjadi atlet jauh lebih dekat, nggak ngawang awang lagi. Tapi jujur saja, mungkin kalau UNO menjadi olahraga Olimpiade, tekanannya jauh lebih berat untuk atlet atletnya. Kok bisa?
Mengingat
Dalam UNO, penting untuk mengingat kartu apa yang musuhmu tidak punya. Nah, berhubung UNO menjadi olahraga Olimpiade, tentu tuntutannya lebih berat. Kamu harus mengingat banyak kartu yang menjadi milik musuhmu untuk bisa menyerang dengan kartu kartu pilihan. Mengingat ini pasti sangat berat untuk atlet UNO. Berat lah!
Sisi positifnya, mungkin Indonesia unggul di masalah ingat mengingat ini. Indonesia ini begitu terobsesi dengan mengingat. Lihat saja pendidikan di Indonesia semua soal mengingat. Kalau kamu memberikan analisa, salah salah kamu dikira mendukung PKI atau teroris. Pokoknya ingat ingat sajalah kalau di Indonesia, gak usah berpendapat meski pendapatmu masuk akal. Hargai perasaan orang bodoh yang gak bisa menerima kritikan. Nah, karena terbiasa mengingat ingat saja, kita mungkin jago di UNO karena pintar mengingat lawan tidak punya kartu apa saja.
Kapan Ngeluarin +2 dan +4
Punya dua kartu ini begitu berat. Kamu bisa mempersulit orang lain tapi bisa juga membunuh dirimu. Bayangkan kamu dengan pedenya mengeluarkan dua pasang +2, terus ternyata lawan sebelahmu punya +2 juga, sebelahnya juga punya, endingnya kamu kena +4 malahan. Satu Indonesia bisa mencercamu karena salah timing kapan harusnya mengeluarkan +2
“Yak, Ardi sudah unggul! Dia sudah UNO pemirsa, satu lagi maka dia akan mendapat medali emas. Tapi karena ia terlalu pede mengeluarkan dua pasang +2, kini medali perunggu aja enggak! Aduh gimana pembinaan UNO di negara kita? Kenapa kesalahan kayak gini aja bisa terjadi? Gimana uang rakyat?!” kata komentator dengan mengebu ebu.
Waduh, berat ya jadi Olympian Uno.
Kala Kamu Lupa Ngucapin
Paling parah adalah saat kamu lupa ngucapin kata Uno! Ketika kartumu tinggal satu. Bayangkan, kartumu tinggal satu biji, kamu lupa ngucapin Uno! Seketika lawanmu berbalik unggul, kamu harusnya dapat emas, tapi dapat perak! Gimana perasaanmu? Hancur!
Gara gara satu kata Uno, kamu kehilangan banyak kesempatan:
Kamu gak jadi dapat rumah di PIK senilai lima Milyar. Lalu, kamu juga gak jadi dapat gratis kopi di berbagai café terkenal seumur hidup. Paling buruk, kamu gak jadi di video call sama Presiden. Oh ya, ada yang lebih parah lagi, kamu gak jadi dapat status PNS! Ngeri sekali, cuma karena lupa ngucapin Uno!
Seandainya UNO menjadi olahraga Olimpiade, peluang atlet atletnya terkena trauma dengan kata Uno menjadi besar. Ini mungkin akan menimbulkan nama penyakit baru di bidang psikologi : Unoistis. Trauma dengan kata Uno!
Yang Terburuk…
Kamu udah capek capek pelatnas berbulan bulan, ternyata tarikan kartumu busuk. Mau kamu kombinasikan kayak apa juga masih busuk. Pengen nangis rasanya. Berjam jam main Uno, semua berakhir hanya karena warnanya sama semua atau angkanya beda semua. Gak punya kartu +4 dan +2 pula. Pas kamu kalah, lagi lagi publik marah karena kamu dianggap pembawa sial buat negara. Padahal, tiket Jakarta-Paris itu gak murah bung! Uang negara itu! Uang negara cuma buat pesawat yang ngangkut kamu si pecundang! Kurang ajar!
Kesimpulan
Setelah saya pikir pikir, jangan dulu deh UNO jadi olahraga Olimpiade. Kesehatan psikis atletnya menjadi pertaruhan. Namanya olahraga kan harusnya bikin sehat, masa bikin stress?
Baca juga tulisan menarik kami lainnya soal Olimpiade:
Bonus Unik Greysia Polii dan Apriyani Rahayu
Marc Cucurella si Spesialis Kiri Lapangan
Yusra Mardini Si Perenang Tangguh