Munir Said Thalib adalah aktivis HAM di Indonesia. Munir sering ikut dalam membela kasus hak asasi manusia, seperti pembunuhan Marsinah dan kerusuhan pada tahun 1998. Namun, sangat naas nasib Munir yang tiba-tiba lenyap secara mendadak. Proses 17 tahun kasus Munir, ini semacam sebuah extrajudicial killing.
Cerita Singkat
Tanggal 6 september 2004 Munir Said Thalib berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studynya di Utrecht University. Pada 7 September 2004, Munir dinyatakan meninggal dalam perjalan dalam Pesawat Garuda Flight GA-974. Faktanya Munir tewas 2 minggu sebelum pilpres putaran kedua. Hasil otopsi menunjukkan adanya senyawa arsenik dengan kadar tinggi di dalam darah Munir. Temuan ini dirilis setelah pilpres tahun 2004 usai.
Saya akan bagikan gagasan yang dituangkan dalam webinar bertajuk peringatan 17 tahun Munir di acara pemutaran film “Munir: Sebuah Extrajudicial Killing” oleh Amnesty International Indonesia. Webinar ini melibatkan oleh narasumber Dr. Liona N Supriatna (akademisi hukum internasional Universitas Parahyangan), Bivitri Susanti (akademisi STHI Jentera), Adan rif Nur Fikri (Wakil Koordinator KontraS).
Kasus Munir adalah Extrajudicial Killing
Menurut Usman Hamid (Direktur Amnesty International Indonesia) dalam wawancara tim Amnesty International Indonesia, Extrajudicial killing itu salah satu state crime yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh operasi keamaman yang reguler seperti misalnya TNI/Polisi/Badan Intelejen Negara/sebuah unit khusus yang di dalamnya bisa saja ada agen sipil untuk bekerja dalam operasi ini. Sangat mudah menentukan seseorang sebagai ancaman/musuh yang harus dilenyapkan. Pada berbagai literatur, kelompok ini dijuluki sebagai Death Squad (Regu Kematian).
Dalam kasus Munir Dead Squad yang dimaksud adalah mereka yang ikut terlibat dalam eksekusi pembunuhan Munir. Di fakta persidangan ada beberapa nama yang disebutkan seperti misalnya Pollycarpus Buihari Priyanti disebut sebagai aktor lapangan yang ikut terbang bersama Munir. Salah satu kelemahan hukum selama ini adalah kasus ini ditempatkan didalam hukum biasa,menurut pandangan saya kasus ini diletakkan sebagai tindakan pidana yang luar biasa. Pertama harus dianggap sebagai extrajudicial killing/pembunuhan diluar hukum.
Menurut Para Narasumber
Hal ini senada juga dengan apa yang disampaikan Liona Nanang Supriatna, bahwa Extrajudicial killing ini hampir dipastikan dilakukan oleh aparatur negara, karena merekalah yang mempunyai semua perlengkapan, kekuatan, dan kewenangan yang hanya dimiliki oleh negara. Nah yang dimaksud extrajudicial killing ini adalah pembunuhan tanpa proses pengadilan/pembunuhan tanpa jalur hukum yang berlaku seperti jalan pintas.
“Kasus ini berdampak yang dirasa dilanggarnya Hak Asasi Manusia seluruh umat manusia. dalam hukum internasional dikenal sebagai hostis humani generis (musuh segala umat manusia) yang artinya siapapun pelakunya, siapa korbannya, kapan peristiwanya, dan dimana peristiwanya pelaku tiidak boleh lolos.”, ujar Liona.
Sementara itu Arif Nur Fikri berpandangan bahwa memang benar kasus ini sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Ini terlihat dari buku dari tim pencari fakta (TPF) yang hilang di istana negara, terlibatnya aktor-aktor negara, dan adanya konspirasi dibalik pembunuhan Munir. Lain dengan ungkapan Bivitri Susanti selaku akademisi STHI Jentera. Ketika kasus ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat ini akan membawa dampak struktural yang bisa tercapai. Dampak struktural ini mencegah masyarakat atau khususnya para pembela HAM terancam oleh siapapun seperti Munir. Sebagai contoh di era sekarang ancaman seperti somasi, tekanan, bahkan ancaman ingin dibunuh.
3 Penetapan KOMNAS HAM
Pada sidang paripurna tanggal 7 September 2021, KOMNAS HAM menetapkan dan mengesahkan 3 putusan. Pertama membentuk tim untuk menindaklajuti dan menyelidiki kasus Munir. Kedua, menetapkan hari dimana Munir tewas tanggal 7 september sebagai hari perlindungan HAM Indonesia. Ketiga, mengesahkan pengaturan dan standard pembela HAM.
Para narasumber di acara tersebut menanggapinya secara positif dan memaknainya sebagai putusan yang sangat luar biasa. Bivitri Susanti sangat menghargai putusan komnas ham dan memberikan apresiasi kepada Komnas HAM. Hal ini bisa dijadikan oleh masyarakat atau generasi muda sebagai pengingat bahwa ada jaminan perlindungan dalam penggiat HAM.
Kesimpulan
Kasus Munir sampai saat ini belumlah selesai dan belum juga ditemukan dalangnya. Dengan adanya peraturan yang baru disahkan oleh KOMNAS HAM diharapkan para relawan-relawan tim pencari fakta Munir lebih berani lagi untuk mengungkap kasus pembunuhan ini. Sebagai generasi muda, mari kita bersama ikut bantu tuntaskan kasus ini. Semoga keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terwujud.
Panjang umur keadilan!