Waktu Baca: 3 menit

Beberapa waktu lalu tubuh saya merinding, merasa takut, sesaat setelah membaca sebuah koran lokal secara daring. Digambarkan dengan jelas sekali bagaimana luka korban menganga bekas sabetan clurit. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan. Peristiwa klitih di Jogja kembali terjadi dan kali ini hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari meja kerja saya. Sungguh saya sebagai warga Jogja merasa tidak aman dan nyaman. Sebuah fenomena yang selalu berulang di kota budaya dan pelajar.

Ibarat halnya laron yang muncul di setiap awal musim penghujan, demikian halnya pula dengan klitih. Sungguh istimewa sekali jika dicermati. Bila musimnya tiba maka warga Jogja akan menjadikan klitih sebagai bahan rasan-rasan di setiap percakapan. Media-media dengan kompaknya juga memberitakan permasalahan klitih. Lantas mengapa klitih masih bercokol di Jogja?

Klitih memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang di Jogja. Sekitar tahun 2000-an, fenomena klitih sudah mulai merebak di wilayah Jogja. Jika ditarik ke belakang, klitih berawal dari maraknya tawuran antar geng pelajar yang ada di Jogja. Pada dasarnya klitih merupakan sebuah cara untuk menyerang musuh dengan sembunyi-sembunyi. Mencari celah saat korban tidak sedang dalam kondisi siap (lengah). Biasanya klitih bergerak dalam kelompok-kelompok kecil dalam mencari mangsanya.

Pola ini pun diadopsi oleh geng di luar sekolah. Sasaran korbannya pun acak, berbeda dengan klitih yang terjadi antar geng sekolah. Sasarannya sangat jelas, berasal dari sekolah yang dianggap menjadi musuh. Sehingga klitih menjadi semakin tidak terkontrol. Kejadian semakin meluas dan semakin meresahkan masyarakat secara luas. Biasanya setelah kejadian klitih kembali marak, pihak berwajib bergegas memcari pelakunya dan melakukan penangkapan. Namun apakah dengan menangkap dan mempidanakan pelakunya masalah klitih akan selesai? Saya rasa tidak, selama akar permasalahan belum diangkat ke permukaan.

Baca juga : Makna Tersembunyi Di Balik Upah Minimum Provinsi Jogja

Secara sosio kultural permasalahan klitih tidak hanya sekadar menunjukkan jati diri semata. Ada yang lebih dalam daripada itu semuanya. Saya mencoba untuk mengobrol dengan salah seorang teman yang kebetulan beberapa kali pernah menangani kasus pelaku klitih di Jogja. Berdasarkan hasil wawancara dengannya, latar belakang perekonomian para pelaku klitih berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Orangtua mereka pun harus berjibaku dengan minimnya pendapatan yang diperoleh mereka.

Sebagai gambaran saja, UMP Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2021 hanya berkisar Rp 1,7 juta saja. Bayangkan saja di tengah kebutuhan yang semakin meroket dan himpitan pandemi, mereka harus berjuang dengan UMK yang sangat minim. Bahkan ada pula yang gajinya tidak menyentuh standar UMK. Pahit? Memang itulah kenyataan yang harus dijalani. Mau tidak mau kita semua harus bersepakat bahwa ini berkaitan erat dengan urusan perut.

Orangtua pelaku klitih pun tentunya boro-boro bisa mikirin parenting. Lha wong tujuan mereka sangat jelas sekali, bertahan hidup! Anak-anak tentunya tidak mendapatkan curahan kasih sayang sebagaimana mestinya. orangtua sudah lelah dengan kesehariannya untuk tetap membuat dapur tetap mengepul. Akhirnya, lingkungan di keluargalah yang menjadi wadah bagi mereka untuk mendapatkan internalisasi nilai. Bukan tidak mungkin, nilai yang diterim tentu akan bertentangan dengan norma yang ada.

Baca juga : Sulitnya Mencari Kuliner Khas Solo di Jogja

Kantong-kantong kemiskinan di Jogja sudah sewajarnya mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah daerah. Bukan malah digunakan sebagai kantong-kantong suara saat adanya pemilihan umum. Fenomena klitih haruslah diselesaikan dengan cara yang “istimewa” pula dong. Saya yakin banyak sekali ahli di Jogja yang bisa dimintai pertimbangan terkait dengan fenomena tersebuit. Apa yang saya uraikan di atas hanyalah asumsi dasar semata, dibutuhkan studi lanjut untuk memangkas akar permasalahannya. Saya sih berkeyakinan Pemda DIY bisa menyelesaikan masalah ini. Namanya sebuah siklus ya pasti dipotong.

Permasalahan ini hanyalah masalah tekad saja. Apakah mau atau tidak? Toh Jogja juga punya Dana Keitimewaan yang luar biasa banyak  setiap tahunnya. Alangkah baiknya jika anggaran yang sebegitu banyaknya dialokasikan sedikit saja untuk mengatasi klitih. Daripada selama ini hanya membangun proyek-proyek beautifikasi yang dampaknya belum tentu bisa dinikmati oleh rakyat Jogja yang membutuhkan. Ya jangan sampailah klitih menjadi kebudayaan. Apalagi malah menjadi bagian dari keistimewaan Jogja seperti yang menjadi slogan selama ini. Semoga saja tidak!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini