Menyembelih hewan untuk makanan tampaknya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari hari kita. Benarkah demikian? Faktanya dalam pasal sembilan deklarasi hak hewan serta dokumen declaration of Animal Welfare telah banyak penjelasan bahwa penyembelihan pada hewan tidak bisa dilakukan seenaknya. Ada etika penyembelihan hewan yang harus menjadi panduan dan rujukan. Lalu, bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam proses penyembelihan hewan ini?
Bedanya Kekerasan dan Kekejaman
Saya akan membahas tentang anti kekejaman dan anti kekerasan dulu sebelum membahas etika penyembelihan hewan. Saya sedikit resah melihat bagaimana kita terkadang tidak melihat secara substansial. Kita sering kali mendukung yang namanya anti kekerasan. Memang tidak salah, namun kita juga harus memahami sepenuhnya dampak ke diri kita dan sekitar jika kita hanya memahami apapun setengah – setengah. Hal tersebut sangat penting supaya kita tidak mengalami Dunning – Krugger effect.
Tidak melakukan kekerasan namun itu kejam
Dalam konteks dan kondisi tertentu, kekerasan bukanlah kekejaman. Namun sebaliknya, kekejaman pastilah kekerasan, atau lebih buruk dari itu. Lebih jelasnya akan saya berikan contoh. Sesopan atau sehalus apapun kita memanggil orang tua kita, jika memanggil mereka dengan nama langsung mereka marah karena itu tindakan yang buruk. Bagaimana jika dalam konteks hewan? Yang paling mudah adalah jika kita memelihara hewan terus kita memberi makan mereka dengan makanan sisa. Apakah itu tindak kekerasan? Jelas tidak, namun itu hal yang kejam. Selain itu, bukan fitrahnya hewan memakan makanan manusia yang komposisi gizinya berbeda dari yang mereka butuhkan.
Bagaimana Saat Menyembelih Hewan?
Setelaah mengerti sekilas mengenai perbedaan kekerasan dan kekejaman, mari kita bicara soal etika penyembelihan hewan. Sebuah topik yang cukup rumit bagi beberapa orang.
Harus kita akui bahwa proses penyembelihan hewan di Indonesia dan banyak belahan dunia lain yang belum maju sangat mengerikan. Kita kembali lagi kepada prinsip Deklarasi Hak Hewan. Hewan seharusnya tidak merasakan ketakutan dan perasaan terancam. Faktanya, pada banyak industri penyembelihan hewan, hewan ketakutan. Mereka digiring dalam kelompok yang berdesak desakan sebelum kemudian diikat dan dipotong dengan tidak sesuai prosedur. Akibatnya mereka menderita. Inilah kenyataan industri yang kejam dan sempat menjadi satir dalam film Okja karya sutradara pemenang Oscar, Bong Jon Hoo.
Kita harus ingat bahwa kekerasan memang pasti ada dalam penyembelihan hewan. Tapi seperti yang telah saya uraikan tadi, kekerasan tak perlu berbareng dengan kekejaman. Menaruh hewan di kandang yang tak layak, membuat mereka khawatir dengan situasi rumah jagal yang tak ramah serta metode penyembelihan yang tidak taat prosedur merupakan suatu bentuk kekejaman yang tak perlu. Kita perlu belajar etika penyembelihan hewan sebaik baiknya.
Dalam agama Islam misalnya dapat kita lihat ada aturan aturan yang membuat hewan terasa nyaman sehingga saat penyembelihan itu terjadi, durasi mereka merasakan sakit dan ketakutan sangat pendek. Begitupun sebenarnya di Eropa dan negara maju lainnya sudah banyak pendiskusian dan pembahasan ke arah sana untuk memperkuat etika penyembelihan hewan.
Kenapa Tidak Vegan Sekalian?
Menyederhanakan masalah dengan meminta semua mahluk menjadi vegan jelas merupakan bentuk simplifikasi berbahaya. Anjing misalnya tidak bisa kita paksa makan sayur saja. Selain itu, ada sistem rantai makanan untuk menjamin keberlangsungan ekosistem. Kita tidak bisa memaksa perubahan dengan seenaknya. Banyak juga anak anak dalam masa pertumbuhan yang masih membutuhkan gizi hewani. Suatu hari nanti, mungkin akan ada solusi hingga semua orang bisa menjadi vegan. Namun untuk saat ini, setidaknya kita berusaha mengurangi penderitaan hewan melalui usaha mengkampanyekan etika penyembelihan hewan dengan sebaik baiknya.
sumber gambar : Jo-Anne McArthur; Jorge Maya
Baca juga :
Manusia Serakah : Harimau Jadi Tumbal
Eksploitasi Orang Utan Dalam Cerpen “Bulu Bergincu”