Waktu Baca: 2 menit

Johan Huizinga, seorang budayawan Belanda di tahun 1938 menuliskan buku Homo Ludens, a Study of Play Element in Culture. Dari buku itulah lantas populer istilah Homo Ludens, yang menjelaskan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk bermain. Kita nggak usah bicara yang berat-berat nan filosofis. Sejenak kita tengok Squid Game, serial Korea yang sedang hits. Jauh sebelum Squid Game, kita sudah kenal dengan Masquerade, Benteng Takeshi, Fear Factor, dan Penghuni Terakhir. Itu semua jadi wujud homo ludens, yang mana pesertanya orang dewasa semua, yang terobsesi untuk bermain. Tentu saja mereka mau bermain karena ada hadiah yang menggiurkan.

Intinya Homo Ludens

Huizinga menjelaskan bahwa sejatinya kita ini suka bermain. Bukan berarti kita kekanak-kanakan, tetapi permainan itu memang ada dan kita ikuti sampai tua. Lewat bermain itulah hidup kita terasa lebih hidup. Skema permainan itu soal tantangan dan ada hadiah yang diinginkan. Soal kompetisi dengan orang lain, bisa ada, bisa juga tidak. Perkara hadiah pun tak melulu tentang uang. Bisa juga soal harga diri, kebanggaan, atau bahkan sekadar supaya bisa survive saja. Permainan itu bisa menyenangkan, bisa juga bikin stress.

Permainan juga identik dengan coba-coba. Tindakan kita tiap hari dengan trial and error, sebetulnya bagian dari wujud homo ludens. Kita pedekate dengan sosok pujaan hati dengan berbagai cara, itu sebetulnya juga bentuk permainan.

Baca juga : Squid game serem, tapi nggak akan terjadi di Indonesia

Bermain sungguh-sungguh

Soal homo ludens ini, Driyarkara sang filsuf Indonesia menyebutkan penjelasan menarik : “Bermainlah dalam permainan tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi.”

Merasa pusing dengan uraian itu? Taruhlah contoh dalam permainan Benteng Takeshi. Peserta bermain dengan serius mengikuti aturan, tetapi situasi dalam permainan itu tidak mereka masukkan dalam hati. Mereka boleh sebel dengan Yang Mulia Takeshi, tetapi tak boleh benci pada Takeshi Kitano yang berperan sebagai Yang Mulia. Hayato Tani sebagai komandan peserta memang rival Yang Mulia. Tetapi dalam real life, mereka tidak saling berlawanan. Kalo dalam real life lantas mereka saling benci, maka jadinya nggak asyik.

Obsesi Bermain

Kita sebetulnya nggak jauh-jauh dari urusan obsesi bermain. Main Dance Dance Revolution di Timezone, atau sekadar memancing boneka, itu bisa menumbuhkan obsesi kita. Tatkala kita gagal maning gagal maning, kita jadi gemas dan berusaha mencoba lagi sampai berhasil. Demikian pula dengan judi, obsesi yang menjadikan perjudian tidak sehat. Orang lantas menghalalkan segala cara untuk memenuhi obsesinya.

Para peserta permainan tidak jarang yang punya background persoalan ekonomi.Bisa jadi mereka tidak punya keberanian yang cukup. TetapiĀ  iming-iming hadiah fantastis jadi motivasi untuk ikut permainan. Mungkin mereka pengangguran, atau sedang terlilit hutang besar, dan ingin melunasi hutangnya lewat hadiah permainan. Kepepet, lah. Masalahnya, ketika mereka gagal, maka permainan yang mestinya mengasyikkan jadi tidak asyik karena emosi mereka terkontaminasi dengan urusan real life. Ya, ini tentang homo ludens, orang dewasa bisa dengan cepat larut dalam permainan.

Kedewasaan Penonton

Permainan semacam Squid Game, Penghuni Terakhir, atau bahkan yang se simple Benteng Takeshi pun mensyaratkan kedewasaan kita sebagai penonton. Kesadaran bahwa apa yang kita tonton tetap sebuah permainan, itu penting kita tempatkan dengan semestinya. Permainan jadi tidak asyik ketika penonton membahas kehidupan pribadi tiap peserta atau pemeran dalam permainan itu. Tidak asyik pula kalo penonton bersikap jumawa, “Ah lompat gitu aja mosok nggak bisa, sih?”

Lah, kalo berani bayangkan aja hidupmu ada dalam permainan macam film Maze. Jangankan tertawa, berkomentar soal kebodohan liyan pun kamu tak akan mampu.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini