Gilang Endi (23) meninggal karena mengikuti Diklat Menwa Universitas Negeri Surakarta (UNS). Dia jadi korban kekerasan dan bullying atas nama pendidikan. Loh kok bisa? Ya tentu saja, namanya kan Pendidikan dan Pelatihan. Kematian karena kekerasan dalam diklat ya sama saja dengan pembunuhan atas nama pendidikan. Biasanya alur kematian berawal dengan kalimat ‘jaman kalian lebih mending dari jaman kami, dek!’
Alasan kematian karena sakit bawaan
Kenapa bisa sampai meninggal? Tim pelatih, senior, atau panitia akan cepat bilang bahwa peserta pelatihan lemah, tidak kuat mental, sakit bawaan, dsb. Jawaban-jawaban ini khas muncul setelah ada laporan dari keluarga korban. Jawaban itu juga muncul pada kasus-kasus kekerasan di beberapa sekolah kedinasan di tahun-tahun sebelumnya, termasuk akademi kepolisian, IPDN, Akademi Pelayaran. Pada konteks Gilang, kalau pun Gilang punya penyakit bawaan, itu juga tidak membenarkan adanya kematian. Tetapi alasan ini bisa saja sengaja berhembus terus menerus kalau memang tim pelatih sudah kehilangan akal sehat.
Setengah Hati Meniru Militerisme
Ya ini kan cara untuk membentuk anak menwa punya mental kuat, melatih kedisiplinan, dan kekompakan, mas. Oh iya, Resimen Mahasiswa itu bagian dari komponen cadangan dalam doktrin pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Kalau negara sewaktu-waktu butuh, maka militer bisa memobilisasi Menwa untuk kepentingan tersebut. Ini salah satu alasan kenapa Diklat menwa menggunakan cara-cara yang berbau militerisme; yang keras.
Meniru atau mencontoh itu boleh saja, asal komplit mulai dari paham filosofis, paham konsep, tahu banyak aspek, dan tahu alasan mengapa memilih cara-cara praksis itu. Sialnya, orang lebih cepat menjiplak praksis dalam pelatihan, tapi tidak mau tahu dengan konsep dan filosofinya. Mereka menjiplak metode belajar yang keras, tapi tidak ada bekal konsep yang kuat. Hasilnya adalah kekerasan.
Saya kenal dengan salah satu pelatih Pasukan Khusus TNI AU (Paskhas). Soal derajat kompetensi militer, Paskhas itu kurang elite apa sih? Nah si oom pelatih ini juga menggunakan cara-cara latihan yang keras, tetapi tidak berarti kekerasan. Kurang keras apa coba, kalo latihannya berjalan di atas bara api dengan kaki telanjang? Tapi itu bukan kekerasan, bung. Siswa salah, ya dapat hukuman. Hukumannya pun seberat apa pun tetap terukur dan bertujuan. Antara praksis metode belajar masih tetap tegak lurus dengan tujuan belajar.
Baca juga : Lestarinya Kultur Kekerasan di Tanah Papua
Lah, kalo kasusnya Gilang Endi di menwa UNS itu, dengan badan yang lebam, itu kekerasan. Ungkapan ‘jaman kalian lebih mending dari jaman kami, dek’ , itu lantas bisa jadi pembenaran. Kalo jaman begini saja panitia Diklat yang menghajar peserta sampai babak belur saja dianggap masih mending, berarti jaman dulu sampai pada percobaan pembunuhan, dong? Metode belajar tidak tegak lurus dengan tujuan belajar, tetapi meregenerasi balas dendam dari tahun ke tahun, dari senior kepada junior.
Kekerasan Masih Awet
Kasus-kasus kematian dalam proses pendidikan akibat bullying, itu dari tahun ke tahun tetap ada. Tidak peduli pandemi atau tidak, kekerasan itu tetap ada. Masyarakat sih gerah dan sebel dengan kasus-kasus itu. Orangtua mana yang rela membiayai pendidikan anaknya hanya untuk berakhir pada kematian anak? Entah dengan kesepakatan, tanda tangan di atas kertas, bahkan surat pernyataan dengan meterai pun, tidak ada mau ikhlas anaknya meninggal dalam proses pendidikan. Cuma masalahnya, masyarakat kita ini pagi bicara soal cinta damai, malam bisa terlibat dalam tawuran antar kampung. Lingkaran kekerasan itu tetap ada, meski tidak terstruktur.
Nah, PR besar buat kita semua, kekerasan yang terstruktur dalam proses pendidikan (apapun jenjang dan organisasinya), inilah yang bisa dan harus kita sikat habis. Maka kalo ada yang bilang, ‘jaman kalian sekarang lebih mending ketimbang jaman kami dulu, dek!’ , ya memang dari tahun ke tahun situasi harus makin baik, lah. Bukan malah melanggengkan kekerasan atas nama proses pendidikan.
[…] Jaman Kalian Lebih Mending dari Jaman Kami, Dek ! […]