Waktu Baca: 2 menit

Bu Risma marah lagi, nih. Kali ini sebabnya adalah data penerima Bantuan Pangan Non Tunai di Gorontalo. “Tak tembak, kamu!”. Begitu kata Tri Rismaharini, simboke arek-arek Suroboyo yang kini jadi Menteri Sosial. Kemarahan itu dia arahkan pada kepala dinas sosial Propinsi Gorontalo. Itu bukan kali pertamanya dia marah-marah. Sebelumnya dia pernah marah soal Taman Bungkul, proses pengurusan KTP di Surabaya, dan seterusnya. Selain Bu Risma, kita juga kenal Pak Ahok BTP yang dulu doyan marah-marah. Saya malah tergelitik dengan pemikiran, kenapa sih mereka nggak belajar dari Pak Harto yang jarang marah di depan publik?

Kenapa kamu tanya begitu?

Respon Pak Harto atas pertanyaan seorang anak SD itu beberapa tahun ini viral. Saya bukan pengagum, bukan pula pemuja Pak Harto. Tetapi urusan performa public figure di muka umum, bolehlah saya merujuk pada Pak Harto. Di depan senyam senyum sih, tapi di belakang barangkali dia sudah siap mengeksekusi lawan-lawan politiknya. Persis seperti adegan di film The Dictator.

Sebetulnya marah itu sah-sah saja. Berbicara keras juga sah-sah saja. Apalagi kalo bicara latar belakang kesukuan, orang Jawa identik dengan kalem dan lemah lembut. Tapi tidak sah juga kalo kita menuntut orang harus berperilaku layaknya orang Jawa yang kalem. Ada kalanya memang perlu marah. Cuma ya harus ingat konteks.

Baca juga : Bahaya Mudah Tersinggung, Bikin Hidup Sulit

Deterrence Effect

Ada yang bilang, pejabat marah itu fungsinya untuk efek menggetarkan atau peringatan bagi para bawahannya untuk tidak main-main. Kalo dalam strategi militer, ada namanya detterence effect, seperti yang ditimbulkan dari kehadiran kapal selam atau jenis alutsista. Kapal selamnya mungkin diam aja atau sekadar numpang lewat. Tapi itu udah bisa bikin negara tetangga pikir-pikir kalo mau cari perkara dengan kita.

Balik lagi ke soal marah-marah, kita bisa saja perdebatkan, apa iya tindakan marah-marah akan menciptakan detterence effect yang bener-bener efektif? Bukankah yang perform nya kalem macam Pak Harto atau Pak Jokowi juga bisa membuat detterence effect pada para bawahannya? Malahan Pak Harto dikenal sebagai The Smilling General. Dia suka tersenyum. Waktu saya kecil, anak-anak kampung sering nyeletuk Mbah Harto Mesem. Gambar wajahnya di uang kertas lima puluh ribuan, di baliho-baliho kegiatan, dan di ruang-ruang kelas sekolah pun juga menunjukkan dia sedang senyum. Bahkan di perangko pun dia tetap senyum, meski wajahnya udah diketok dengan keras oleh petugas cap pos. Pak Harto jarang kelihatan marah, minimal di hadapan kamera dan media. Di balik senyumnya, ada efek menggetarkan. Salah omong, kali aja besok pagi ada tukang bakso yang tiba-tiba nongkrong di depan rumah kita.

Reaksi Emosi

Marah itu bagian dari ekspresi emosi yang manusiawi. Semua berhak untuk marah dan kesal atas ketidak beresan orang lain. Kata dunia psikologi sih, marah bisa jadi sarana penyaluran energi negatif. Tapi bukan berarti yang tidak doyan marah lantas tidak bisa menyalurkan energi negatif. Bukan berarti orang-orang macam Pak Harto itu kerap memendam emosi. Belum tentu. Bisa jadi caranya lain, dan kita tidak tahu.

Pejabat publik yang doyan marah bukan berarti punya watak yang tidak baik. Mereka tetap punya intensi untuk menolong orang lain, tidak ingin merepotkan orang lain. Cuma, mereka merasa perlu untuk marah terhadap situasi yang bagi mereka menyebalkan. Kalo mereka terlalu sering marah untuk hal-hal yang tidak substansial, nah itu yang bisa jadi perkara. Orang lantas sulit membedakan mana sikap kesal, kecewa, dan marah. Ketiganya berbeda kadar, lho.

Pilihan watak

Nah buat kamu mahasiswa yang katanya pemegang masa depan bangsa, kamu punya pilihan. Besok mau jadi public figure macam apa? Model Bu Risma yang spontan marah, atau mau belajar dari Pak Harto yang jarang marah di depan publik? Dua-duanya bisa saja sama-sama mematikan, sih. Hanya akhirnya berbeda image saja di depan rakyat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini