Faye Simanjutak tiba tiba ngetop. Ya, dara berusia sembilan belas tahun ini masuk dalam jajaran Forbes 30 under 30. Kalian juga sebenarnya bisa masuk under 30, bahkan under 3, terutama dalam IPK. Caranya mudah asal konsisten titip absen dan tidak mengumpulkan tugas. He..he..Bercanda kawan. Jadi gini, keberhasilan Faye Simanjuntak ini tak lepas dari aktivitasnya menghentikan perdagangan anak. Hebat ya, masih muda sudah berani memerangi human traficking. Eh, tapi wait, tunggu dulu. Kalau dia anak biasa, mungkin sudah ngambang di Tanjung Priuk dia. Sebab, mafia human trafficking itu emang terkenal ngeri. Bahkan untuk sekelas wartawan senior saja jarang mendapat izin untuk melakukan liputan investigasi soal human trafficking. Muncul pertanyaan, jadi Faye Simanjuntak kakek dan ortunya siapa? biasa netizen suka kepo.
Cerita punya cerita, ternyata kakek Faye Simanjuntak adalah menteri koordinator bidang kemaritiman sekaligus purnawirawan Kopasus, Luhut Binsar Pandjaitan. Sementara itu ayahnya adalah komandan Paspampres, Mayjen Maruli Simanjuntak. Sontak timbul nyinyiran netizen. Wah, privilese nih!
Tapi emang salah ya punya privilese itu? Ingat privilese itu adalah kekuatan hebat dan kata Spiderman, “From Great Power comes great (er) responsibility.”. Jadi apa salahnya Faye Simanjutak ‘memanfaatkan’ privilese untuk berbuat kebaikan? ‘Kan Faye Simanjuntak gak milih juga mau punya kakek siapa. Ya kan? Yuk kita bahas.
Cara Orang Menyikapi Privilese
Dalam menyikapi privilese, masyarakat serta netizen biasanya terbagi menjadi dua kubu. Bukan Kubu kampret dan kubu cebong lho ya, tapi kubu yang merasa privilese ini bukan sebuah faktor penting dalam suksesnya nasib seseorang dan orang-orang yang merasa privilese adalah kunci sukses dari karir orang. Hmm…
Namun apakah dalam menyikapi privilese emang harus ada dua kubu yang bertentangan? Mungkin bisa diomongin ini masalahnya jadi agak kompleks ya. Kalau dicek-cek, orang yang menganggap privilese ini bukan kunci dalam meraih kesuksesan sebagian besar berasal dari orang yang secara kelas adalah menengah keatas, begitu juga yang sebaliknya. Orang-orang yang nyinyirin privilese orang biasanya berasal dari ekonomi yang kurang baik. Udah keliatan kan kenapa kok nyikapinnya gini?
Ketimpangan Sosial dan Efeknya
Nah, biang kerok debat kusir soal privilese ini adalah ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial bukan hanya menyoal faktor ekonomi tapi juga faktor nama besar keluarga. Nggak bisa dipungkiri emang orang-orang yang memiliki privilese ini memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi orang yang “sukses”. Sedangkan orang-orang yang privilesenya terbatas atau bahkan nggak punya privilese di bidang ini secara penelitian emang peluang suksesnya nggak sebesar yang punya privilese tinggi.
Ketimpangan sosial bisa dicontohkan orang-orang yang udah berusaha tapi terhalang oleh ekonomi yang pas-pasan. Udah dapet beasiswa eh ternyata buat biaya hidup masih susah. Bikin kepala pusing kan? Setidaknya itu yang dialamin beberapa kenalanku. Tapi disisi lain ada yang nggak usah repot-repot ngejar beasiswa udah bisa kuliah sesuka hati.
Ketimpangan sosial terutama ekonomi juga ternyata melahirkan ketimpangan waktu. Dimana orang-orang yang katakanlah tidak mempunyai privilese ekonomi yang baik terpaksa harus bagi waktu dengan nyari duit alih-alih mencoba berorganisasi buat memperluas koneksi serta dan luasnya pengetahuan karena sering ketemu sama orang-orang. Kita tahu juga bahwa kenal sama banyak orang merupakan sebuah kesempatan kan? Orang dalam itu penting juga buat kita dan ternyata ini juga dipengaruhi oleh privilese.
Semua Kesuksesan Harus Karena Privilese?
Setelah tahu akar privilese terus apa semuanya tergantung hal itu?
Aku pernah ngobrol dengan orang yang lahir tanpa privilese. Seseorang yang hanya bahkan tidak sempat menyelesaikan bangku SD dan memiliki keluarga yang sama sekali tidak harmonis. (Eh iya dia juga udah setuju kalau aku mention di artikel ini). Naasnya, kalau dibandingkan dengan aku yang memiliki privilese ekonomi dan keluarga lebih baik, dia justru sempat jadi “Boss”ku selama beberapa bulan di sebuah bisnis cafe yang lagi ia jalankan. Dia bercerita kalau yang ada dia hanya berjalan dari kerjaan ke kerjaan, dari pelatihan ke pelatihan untuk sampai di posisi yang punya banyak relasi tanpa ada privilese dari keluarga.
“Aku pernah ngerasain harus pindah dari Jogja ke Jakarta, kemudian balik ke Jogja dan ke Bali lalu ke sini lagi. Biayanya ya kebetulan aku nabung dari kecil, susah pokoke pas itu. Ga bisa diceritain. Hahaha…” katanya begitu.
Pun juga terjadi hal yang sebaliknya. Seseorang temanku pernah mengghibah seseorang yang nampak memiliki privilese tapi hidupnya kok kaya sembarangan, bahkan anak-anak tanpa privilese nampak lebih memiliki karir yang jelas ketimbang yang punya privilese. Semua pada akhirnya kembali ke pribadi orangnya. Menarik kan? Aku pun yakin di tempat kalian juga ada yang seperti ini.
Privilese Tetap Bisa Jadi Alasan
Privilese tetap bisa jadi alasan kenapa kamu kok jalannya nggak mulus. Keistimewaan bisa jadi alasan kamu harus mengeluarkan tenaga yang lebih. Kelebihan ini juga bisa jadi alasan kamu harus mengeluarkan waktu yang lebih. Privilese bisa jadi alasan kita buat menerima kondisi sesuai sama faktanya. Serta pastinya, privilese jadi alasan buat kita sadar ketimpangan sosial memang ada, dan agar kita bareng-bareng buat membantu satu sama lain agar ketimpangan ini sedikit demi sedikit berkurang.
Tapi, jangan sampe kamu tiba-tiba lemes gara-gara gak ada privilese ya, tetap harus ada perjuangan buat merangkak dari bawah terkadang kita harus membuat privilese sendiri.
Gimana Dengan Faye Simanjuntak?
Kalau mau jujur, ya emang faktor Faye Simanjuntak kakeknya siapa itu berperan penting dalam kesuksesannya membangun ‘Rumah Faye’. Mafia mana berani mengganggu cucu menteri/jendral gitu lhoh? Kecuali dia udah gila. Tapi Faye Simanjuntak sebenarnya bisa memilih untuk bermalas malasan di rumah dan menonton drakor. Namun, ia memilih untuk bekerja dan doin’ her best untuk mengatasi masalah human traficking yang emang parah banget di negara berkembang kayak di Indonesia. Kalau kita cuma sibuk posting quotesnya ‘Spiderman’, Faye ini beneran melakukannya dalam kehidupan nyata dan itu luar biasa!
Betul, Privilese itu penting untuk meraih kesuksesan, tapi bukan satu satunya. Lalu, jangan suka membanding bandingkan dirimu dengan orang yang startnya sudah jauh lebih baik dari kamu. Kita lahir gak bisa milih jadi cucunya siapa, tapi kita bisa memilih menggunakan apa yang kita punya untuk meraih kesuksesan maksimal versi kita, sukur sukur lebih. Ya kan?
Jadi jangan salahkan privilese orang lain. Menurutku itu sudah hokinya mereka. Mari fokus pada diri sendiri dan do our best!
sumber gambar : Campaign.id