Kondisi hamil saat masih berpacaran, bagaimanapun juga jadi momok bagi perempuan. Entah lelaki nya punya kesiapan sebaik apa pun, bahkan mungkin dalam kondisi mapan secara finansial pun, kehamilan di luar pernikahan tetap membuat cemas. Bagi kaum mahasiswi (jelas bukan S2 / S3), hamil berarti ada peta jalan kehidupan yang akan berbelok tajam. Mahasiswi yang hamil karena pacaran biasanya dihadapkan pada dua pilihan, mau aborsi atau pertahankan janin?
Pilihan Sulit
Kalau setiap umat manusia adalah filsuf dan moralis, maka pilihannya jadi lebih mudah. Pertahankan saja janinnya. Tapi problemnya, tidak semua dari kita punya moral yang kuat. Bahkan mungkin hanya sedikit yang punya kapasitas moral baik. Bukan perkara gampang ketika perempuan memilih mempertahankan janin. Pilihan itu mengandaikan bahwa perempuan sungguh siap untuk berjuang selama proses kehamilan, dan tahun-tahun pertama saat merawat anak. Lanjut kuliah dalam kondisi hamil atau sambil mengasuh anak adalah suatu beban ganda. Ini juga kita belum bicara tentang kapasitas tubuh. Tidak semua perempuan punya tubuh yang cukup fit untuk merawat anak. Ada pula yang karena kondisi tertentu akhirnya keguguran. Depresi adalah sebuah keniscayaan.
Aborsi Aja Gimana?
Sekitar 9 tahun yang lalu saya tahu ada tesis di Psikologi UGM soal fenomena penjual jamu aborsi di Jogja. Secara skrining saya baca tesis tersebut, pelanggan jamu aborsi ternyata ibu-ibu rumah tangga. Padahal sebelumnya saya membayangkan bahwa yang butuh jamu aborsi adalah pelajar dan mahasiswi karena perilaku seks tidak aman. Pilihan untuk aborsi juga tidak semudah kita mengatakan YA pada terapi gurah atau pengobatan tradisional. Aborsi itu punya dua risiko jelek : gagal aborsi sehingga janin tetap hidup dengan kemungkinan cacat tertentu, atau berhasil aborsi namun pihak perempuannya mengalami efek kesehatan hingga meninggal. Artinya, aborsi tidak otomatis sesuai dengan harapan pelakunya, perempuan tetap hidup dan janin gugur. Ada yang ‘berhasil’ demikian. Tetapi ‘keberhasilan’ sekali dua kali tidak jadi jaminan bahwa ketiga kalinya akan ‘berhasil.
Baca juga : Mempertahankan Unwanted Children, bentuk Heroisme Perempuan
Banyak orang mengkaitkan aborsi dengan dosa karena pembunuhan. Secara yuridis di Indonesia, praktek aborsi masuk dalam kejahatan kriminal. Saya dalam hal ini tidak tertarik untuk membahas pada aspek dosa, karena itu ranah sangat personal. Siapalah kita sehingga bisa mengukur volume dosa seseorang? Tetapi saya tahu, bahwa umumnya perempuan yang memilih untuk aborsi akan merasakan rasa bersalah yang besar. Sekalipun pihak lelaki mau menjamin biaya, menjamin rasa aman dan cinta, dan aborsi atas permintaan lelaki, itu sama sekali tidak mengurangi rasa bersalah dari pihak perempuan.
Lelaki bisa apa?
Tanggung jawab adalah pilihan kata yang paling mudah meluncur dari mulut orang ketika tahu kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Lelaki harus berani bertanggung jawab, begitu katanya. Kita tidak perlu bicarakan mereka yang tidak mau bertanggung jawab. Tetapi bagi lelaki yang mau bertanggung jawab, akan ketemu dengan persoalan-persoalan berikutnya. Tidak semua perempuan mau dinikahi. Ada yang memang ingin jadi single parent untuk membesarkan buah hatinya. Ini bisa karena prinsip, bisa karena traumatik. Sosok lelaki yang menghamilinya bukanlah sosok yang benar-benar idaman. Sebagian terjadi karena iseng-iseng saja, baru kenal lalu mengajak tidur; seperti lirik lagu Keung Racun.
Ada pula perempuan yang meski dalam kondisi hamil karena pacaran, menolak untuk menikah dengan si lelaki karena kehamilan itu sendiri bagian dari akibat KDRT atau pemerkosaan. Memaksa perempuan untuk mau menikah dengan lelaki macam itu hanya akan melipatgandakan beban hidup.
Kesiapan mengambil pilihan
Aborsi maupun mempertahankan janin sejatinya adalah pilihan bebas bagi perempuan yang mengalaminya. Setiap pilihan pastinya membawa konsekuensi baik dan konsekuensi buruk. Tetapi kalau saran saya pribadi, selama tidak ada kesiapan mental dan finansial yang cukup, jangan coba-coba bikin anak deh. Jangan hamil karena kelakuan pacaran, deh.