Kaum Jebolan Psikologi Sedunia yang Jadi Buzzer, bertobatlah!

Waktu Baca: 3 menit

Udah lihat IG Buzzerindonesia yang lagi viral? Soal buzzer nya sih saya nggak kaget. Aktivitas intimidasi terorganisir di media sosial juga saya nggak kaget. Bisnis semacam itu udah ada sejak pilkada DKI tahun 2012. Tapi yang bikin saya gemes, di Instagram (yang sudah ada klarifikasi bahwa bukan milik buzzerindonesia.com) mereka mencantumkan keterangan bahwa personel buzzerindonesia punya background mahasiswa jurusan psikologi dari kampus ternama di Indonesia, dengan IPK cumlaude. Jebolan mahasiswa psikologi lantas jadi buzzer yang intimidatif pada orang lain? Masyaallah !

Emang Buzzer harus dari lulusan psikologi?

Enggak sih, siapapun bisa jadi buzzer, kok. Tekniknya juga mudah dipelajari. Kamu nggak harus capek-capek kuliah 4 tahun di jurusan psikologi Cuma buat jadi buzzer. Belajar selama seminggu penuh buat menguasai teknik buzzer itu udah cukup jadi modal, kok. Pada dasarnya strategi pengerahan buzzer dan intimidasi di media sosial itu adalah bentuk perang psikologis. Kalo kata oom saya, perang urat syaraf. Namanya juga perang psikologis, pasti ada ilmu psikologi yang dipakai jadi strategi. Kalo kamu lagi kuliah psikologi, ya bisa aja sih besok setelah wisuda kamu kerja jadi buzzer. Cuma ya,…. Please lah.

Ilmu psikologi yang dipakai

Ada banyak sih, teori psikologi yang bisa dibajak untuk jadi strategi psywar. Saya pakai teori yang paling jadul dan sederhana nih, ya. Teori konformitas menurut Solomon Asch tahun 1951. Pada dasarnya kita manusia merasa tidak nyaman kalo terlihat berbeda pendapat. Kita akan mudah mengikuti pendapat yang terbanyak. Nah, aplikasinya untuk psywar begini : anggaplah temanmu yang namanya Agung itu orang yang baik, sholeh, ramah, dan cerdas. Nggak aneh-aneh lah dia. Tapi karena ada mbak X yang sebel sama Agung lantas sewa jasa buzzer, akunmu dapat keroyok buzzer dengan komen yang menyebut bahwa Agung itu orang brengsek. Maka jadi bimbanglah kamu dan mulai yakin bahwa Agung itu orang brengsek. Padahal kamu udah kenal baik sama Agung selama 5 tahun terakhir.

Kenapa jasa buzzer laris?

Tugasnya buzzer itu sebetulnya meramaikan suasana, membuat bising, dan mengacaukan fokus. Ini tidak melulu soal politik dan pemerintahan; tidak juga terkait Buzzerp. Buzzer akhirnya juga bisa dipakai untuk urusan personal seperti balas dendam. Daripada orang balas dendam secara fisik, itu repot, risikonya bisa kena ciduk isilop kalo ada tindakan penganiayaan. Ninu ninu ninu…. Nah orang mulai sadar bahwa biaya balas dendam lebih efektif ketika menyewa buzzer. Jejak digital pasti ada, tapi risiko lebih rendah ketimbang balas dendam secara fisik. Keroyokan secara digital, lah.

Kalo buzzer untuk politik, lebih gampang lagi membacanya. Ketimbang politisi nyewa panggung hiburan dan nyumbang pengaspalan jalan desa buat kampanye, mendingan duit puluhan juta buat nyewa jasa buzzer. Efektif dan efisien untuk membuat nama si politisi ada di top of mind masyarakat.

Baca juga : Pancasila Kita dalam Ancaman Report Account

Jebolan psikologi jadi buzzer, haram nggak sih?

Nah, soal haram dan halal, saya nggak tahu. Buzzer itu jelas menyebalkan, apa pun isu yang diusung. Tugas mereka memang bikin berisik. Menyebalkan tidak berarti salah, lho. Buzzer jadi salah ketika mereka membesarkan berita hoax, sampai intimidasi pada person. Nah uniknya di website resmi buzzerindonesia.com, mereka mengklaim menolak order yang kaitannya dengan penyebaran hoax.

Apakah jebolan psikologi lantas salah kalau bekerja sebagai buzzer? Ya tergantung tujuan itu tadi. Tujuan baik dan cara baik, maka tidak salah. Persoalannya juga, meski masyarakat ilmuwan psikologi punya Kode Etik Psikologi, tapi itu hanya terikat pada anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Selama buzzer ini bukan anggota, ya mereka tidak punya ikatan dengan kode etik. Kalo tujuan mereka jadi buzzer untuk kejahatan, maka itu salah secara etik, tapi tidak ada konsekuensi logis atas pelanggaran etik tersebut.

Hanya saja, kalo pandangan pribadi saya, yang notabene jebolan mahasiswa psikologi dari kampus ternama di Indonesia (udah sekolah dua strata lagi), dan tidak dapat cumlaude, please, jangan jadi buzzer deh. Apalagi kalo tujuannya adalah membantu orang balas dendam dengan psywar. Kalo saya bandingkan dunia kedokteran nih, dokter tahu caranya aborsi, bisa aja belajar metode aborsi. Tapi masak iya dokter capek-capek kuliah bertahun-tahun cuma buat jadi tukang aborsi? Se susah-susahnya hidup, apa nggak ada kerjaan lain yang lebih bermartabat?

Nah, buat para sarjana psikologi, apa nggak ada kerjaan lain yang lebih bermartabat ketimbang jadi buzzer untuk membalaskan dendam orang lain?

Similar Articles

Comments

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Advertisment

TERKINI