Pertanyaan tentang ‘mau kuliah di mana?’ , tak hanya berlaku untuk anak-anak SMA. Untuk anak muda pekerja juga kerap kali muncul pertanyaan serupa. Khusus fresh graduate sarjana, pertanyaan yang sama juga muncul untuk konteks studi pascasarjana. Umumnya kalo orang dapat pertanyaan macam itu, jawabannya adalah kampus-kampus yang dinilai baik, bermutu, dan punya akreditasi A. Motivasi yang sering muncul adalah kita kuliah karena ingin menuntut ilmu. Tetapi saya punya hipotesis lain. Banyak dari kita yang tidak jujur mengungkap alasan ketika memilih untuk berkuliah dan memilih tempat kuliah.
Masak iya kita pilih kampus karena semata-mata mutunya?
Argumentasi soal ‘kampus yang bermutu’ akan valid untuk konteks pilihan studi master. Untuk belajar pascasarjana, kita perlu mengambil pilihan yang benar-benar matang. Tempat kuliah akan berpengaruh pada urusan duit modal kuliah dan kualitas ilmu yang kita dapatkan. Salah pilih kampus untuk S2, kita bisa rugi waktu dan tenaga. Tetapi untuk konteks kuliah S1, kita bisa berdebat panjang soal definisi mutu sebuah kampus. Pada akhirnya nanti, kebanyakan dari kita menemukan pilihan kuliah S1 karena faktor relasi sosial. Singkat kata, sebetulnya alasan kita kuliah ya cari teman.
Tapi masalahnya kalo orangtua bertanya pada kita tentang pilihan kampus dan program studi, lantas kita jawab dengan alasan ‘cari teman’, mungkin kita bisa kena gampar orangtua. Padahal sejujurnya, kalau kita hitung-hitung ketika kuliah S1, sebagian besar waktu kita habis untuk berpikir tentang urusan pertemanan di kampus. Awalnya pertemanan adalah sarana untuk mencapai tujuan prestasi akademik. Tapi lama kelamaan situasinya berbalik; tugas-tugas akademik jadi sarana untuk mencapai tujuan dapat banyak kenalan.
Saya adalah jebolan UGM, kampus yang sama dengan Pak Jokowi, Pak Anies, dan Pak Ganjar. Sebagai alumnus yang bernyanyi ‘bakti kami mahasiswa’, sebetulnya saya tidak bangga dengan materi perkuliahan yang saya dapatkan. Bahkan sebagian besar materi kuliah juga saya sudah lupa. Tetapi saya bangga dengan jejaring relasi sosial yang saya miliki. Saya bangga dengan perform para dosen dan kakak-kakak angkatan. Jadi sebetulnya, kuliah itu mencari modal sosial. Mungkin IPK kita pas-pasan, tetapi kalau punya banyak lingkaran sosial yang keren, kita bisa tertolong untuk mendapatkan pekerjaan.
Pilih kampus yang menawarkan jejaring sosial yang baik
Suatu ketika ada anak SMA yang ngobrol dengan saya soal pilihan studi S1. Dia mengatakan, ‘Mas, yang aku dengar, kampus X ini bagus lho jurusannya dibandingkan UGM.‘ Mendengar itu saya lantas nyeletuk, ‘Ya boleh-boleh aja berpendapat begitu. Tapi masalahnya dosen-dosen di kampus itu dulunya juga kuliah di UGM. Jadi, gimana? ehehehe…” Ketika kita berhadapan dengan beberapa pilihan kampus (dalam hal ini swasta) yang bonafid, keren, dan bermutu, kita nggak perlu bingung memilih. Ambil saja pilihan di kampus yang memungkinkan kita untuk dapat jejaring sosial yang menguntungkan. Misal, alumni nya sudah ribuan dan punya pekerjaan yang bermutu. Ya, ini konteksnya untuk kampus swasta, bukan kampus negeri atau kuliah ikatan dinas. Kalo kampus negeri atau kuliah ikatan dinas, itu bukan kita yang memilih, tetapi kita yang dipilih. Itu sih soal nasib aja.
Hati-hati menyampaikan alasan kuliah pada orangtua
Ketika kita berhadapan dengan keluarga terkait urusan memilih tempat kuliah, jangan pertama-tama mengungkapkan alasan tentang jejaring sosial. Meski itu benar, tetapi masalahnya di mata masyarakat, apalagi orangtua, mahasiswa yang fokus pada pergaulan dan mencari teman itu dianggap nyantai dan dolan-dolan aja. Alasan pertama yang perlu kita munculkan adalah soal mutu kampus. Kalau kita memilih kampus yang bermutu tinggi, maka keluarga yang membiayai akan merasa worthed untuk mendukung studi kita secara finansial.
Nah, memasuki semester ketiga, barulah kita akan menemukan bahwa alasan jejaring sosial jauh lebih penting ketimbang alasan mutu akademik. Dapat IPK sempurna itu penting dan menarik, tapi lebih penting lagi kalo kita punya teman di kampus. Percayalah, kampus yang bermutu, otomatis akan menyajikan jejaring sosial yang bermutu pula. Teman di kampus itu bukan hanya untuk pendamping jajan di kantin, tetapi juga untuk memperluas relasi, mengumpulkan modal sosial yang baik. Siapa tahu nasib kita kelak seperti oom Ganjar atau Bang Anies. Karier politik mereka mendapat sokongan dari teman-teman kuliah. Maklum, mereka berdua adalah aktivis kampus.
Maka dari itu, mari kita memilih tempat kuliah secara tidak jujur. Kalo kita jujur, maka alasan yang dipakai adalah alasan kualitas kampus. Tetapi kalau tidak jujur, maka alasan yang dpakai adalah alasan potensi modal sosial; sebuah alasan yang tidak mudah kita sampaikan pada orangtua.