Waktu Baca: 3 menit

Kemarin ternyata ada geger geden di jalur lingkar Kridosono Jogja. Massa ojek online menggeruduk gerai Mie Gacoan Kotabaru. Memang sih, biasanya juga ramai antrian ojek, tapi kali ini keramaiannya berbeda. Ada suasana protes. Berdasarkan pantauan kami pada informasi yang beredar di media sosial instagram, twitter, dan grup facebook abang-abang gojek, kemarin ada kasus arogansi karyawan Mie Gacoan Kotabaru. Pantauan hari Minggu ini (14/11), gerai Mie Gacoan Kotabaru tutup dan ada garis polisi melintang di pagar.

Kronologi Kejadian

Secara singkat, kronologinya adalah Pakdhe Agus (sebut saja demikian), seorang driver ojek online, mendapat order pelanggan untuk pesan makan di Mie Gacoan Kotabaru. Seperti biasanya, antrean panjang selalu terjadi. Eh sialnya, order milik Pakdhe Agus ini kena skip antrean, sehingga ia makin lama menunggu. Giliran pesanan Pakdhe Agus dibuatkan, pelanggan di rumah pun membatalkan pesanan karena terlalu lama menunggu. Satu skip antrean ini berbuntut kekesalan Pakdhe Agus dengan menendang kursi. Tak terima dengan tindakan Pakdhe Agus, karyawan Mie Gacoan pun ikut marah pada Pakdhe Agus dengan ancaman kekerasan verbal. Peristiwa ini direkam oleh beberapa pihak, disaksikan pula oleh para pelanggan yang sedang antre di situ. Hasilnya, ribuan pengemudi ojek online membela Pakdhe Agus dengan mengerumuni Mie Gacoan Kotabaru dari siang hingga malam hari.

Hasil akhirnya, ada 3 hal : Enam karyawan Mie Gacoan Kotabaru dinonaktifkan, keenamnya dilaporkan ke pihak kepolisian untuk proses hukum, dan Gerai Mie Gacoan Kotabaru ditutup untuk sampai waktu yang tidak ditentukan. Beredar juga video keterangan dari pihak manajemen Mie Gacoan Kotabaru dan Pakdhe Agus, dengan surat pernyataan damai.

Dugaan kekerasan Fisik

Pihak manajemen juga menampik adanya tindakan kekerasan fisik pada Pakdhe Agus, demikian pula Pakdhe Agus merasa tidak ada kekerasan fisik yang ia terima. Tetapi sayangnya, dari rekaman video peristiwa, tampak jelas ada karyawan yang membawa pisau dapur dengan posisi tangan siap menyerang. Ada pula karyawan yang melemparkan sesuatu ke arah driver ojek, lantas dihalau oleh rekannya. Artinya, meski secara teknis tidak terjadi kekerasan fisik, tetapi gesture tubuh karyawan menunjukkan kesiapsiagaan untuk menyerang.

Nah itu kronologi teknisnya. Tetapi persoalan lebih besar lagi adalah buruknya manajemen gerai tersebut, yang memilih untuk tidak menutup layanan order ketika order yang masuk sudah melebihi kapasitas. Padahal di gerai lain, ketika order melebihi sudah kapasitas, maka manajemen akan menutup layanan order. Ini adalah pilihan manajemen, bukan karena sistem otomatis dari provider ojek online. Pilihan ini berdampak serius terhadap layanan pada konsumen dan kesejahteraan mental para pekerja.

Baca juga : Mie Gacoan Jogja dan Antrian yang Tak Pernah Sepi

Stresnya Karyawan dan Pelanggan

Bisnis makanan cepat saji mengandalkan kecepatan dan ketepatan dalam layanan. Bila layanan tidak cepat dan tidak tepat, maka kepuasan pelanggan akan turun. Ketika antrean sudah melebihi kapasitas, itu akan meningkatkan stres para karyawan dan konsumen yang mengantre. Dalam konteks order ojek makanan online, yang akan stres tentunya adalah driver, karena mereka tak punya pilihan selain menuruti orderan di tempat yang antrenya luar biasa. Sementara bagi customer di rumah, menunggu lama adalah hal yang menyebalkan, meski mereka masih punya pilihan untuk tiba-tiba membatalkan pesanan karena bosan menunggu.

Mengapa Karyawan Tidak Sabar?

Dalam surat pernyataan bermeterai yang beredar, kita bisa mencermati bahwa rata-rata usia pekerja di gerai tersebut adalah 20-24 tahun. Ini usia yang energik, sekaligus potensi emosional yang tinggi. Memang dalam pelayanan terhadap pelanggan, karyawan dituntut untuk sabar dan simpatik. Soal kesabaran, yang paling kuat adalah pramusaji yang langsung berhadapan dengan customer. Sementara di sektor lain misalnya bagian dapur, karyawan tidak harus punya kesabaran dan rasa simpatik yang sama besarnya dengan pramusaji. Nah, ketika tensi pekerjaan makin tinggi plus ada keributan di bagian depan, akan mudah sekali memicu reaksi para karyawan yang ada di dapur. Tentu saja dalih yang dipakai adalah solidaritas sesama karyawan. Dalih yang sama juga berlaku pada upaya abang-abang ojek untuk menggeruduk gerai Mie Gacoan Kotabaru; solidaritas sesama ojek online.

Siapa yang disebut sebagai pelanggan?

Sialnya pula, bisnis kuliner yang bekerjasama dengan provider ojek online menciptakan pola pikir yang berbeda di benak karyawan tentang siapa yang tergolong sebagai pelanggan. Dengan mudah karyawan akan mengidentifikasi bahwa pelanggan adalah pihak yang langsung mengkonsumsi masakan mereka, entah dengan dine in atau yang sedang menunggu di rumah. Sementara para ojek online yang menjadi perantara pelanggan, dipandang sebagai pihak ketiga yang tidak harus mendapat pelayanan prima.

Padahal realitasnya, baik masyarakat di rumah, tamu dine in, maupun driver ojek online adalah bagian dari pelanggan yang sama. Ketiganya berhak mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang prima dari manajemen gerai makanan cepat saji. Kalau pelanggan di rumah dan dine in tidak mendapatkan pelayanan prima, mereka bisa komplain dan menurunkan rating kepuasan pelanggan. Tetapi kalau abang ojek online yang mendapat perlakuan buruk, hasilnya ya serbuan protes dari komunitas driver ojek online. Ini seperti yang dialami Mie Gacoan Kotabaru yang akhirnya tutup sementara.

Maka dari itu, tak ada pilihan selain pelayanan prima.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini