Selamat hari pahlawan! Namun, di hari pahlawan yang baru kita rayakan ini, harus kita sadari juga gelar pahlawan itu bukan hal yang sederhana. Label pahlawan itu tidak serta merta diberikan pada orang yang berjasa. Lebih dari itu, suka tidak suka, gelar pahlawan itu politis. Gimana maksudnya? Ya, begini. Mungkin beberapa orang yang mendapat gelar pahlawan, tidak bisa secara universal mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Ada beberapa di antara kita yang menganggap bahwa orang yang mendapat gelar pahlawan sebenarnya tidak layak dengan penghargaan setinggi itu.Lalu mengapa gelar pahlawan yang harusnya murni itu menjadi berbau politis?
Negara dan Penguasa
Di dunia ini, yang berhak memberi label pahlawan secara resmi ya hanya negara, tidak ada lembaga lainnya. Nah, negara itu yang memerintah tentu penguasa, entah ia terpilih secara demokratis atau tidak, itu lain soal. Sebagai penguasa, mereka adalah mahluk politik. Bagaimanapun juga, merebut kekuasaan ya jalan satu satunya adalah lewat politik karena politik itu sendiri adalah ilmu ilmu untuk mendapatkan kekuasaan.
Setelah berkuasa, penguasa akan mengambil keputusan. Setiap keputusan yang diambil penguasa ya keputusan politik. Lha wong dia berkuasa lewat cara cara politis. Maka dari itulah, ketika ia memberi gelar pahlawanpun, maka itu adalah sebuah keputusan politis.
Kok Nggak Bisa Kasih Gelar Dengan Tulus?
Beberapa di antara kita mungkin punya pemikiran utopis. Mbok ya udah, gelar pahlawan itu kita berikan dengan tulus, janganlah dengan tujuan politis. Begitu kan ya idealnya? Masalahnya, pahlawan itu sendiri manusia biasa. Ia punya sisi baik dan sisi gelapnya sebagai seorang manusia. Yang jadi perdebatan begini, apakah sisi baiknya cukup untuk menutupi sisi gelapnya hingga ia layak mendapat gelar pahlawan? Apakah dampaknya positif/ negatif kepada orang yang memberikan gelar pahlawan itu?
Ambil contoh adalah Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto. Anak anak Soeharto dan juga partai partai politik seperti Berkarya yang menggunakan sosoknya sebagai alat untuk berkampanye, terus berusaha meng-gol-kan agenda menjadikan Soeharto pahlawan nasional. Alasannya ya karena pembangunan di era Soeharto berjalan masif. Kemudian karena Soeharto menjadi presiden dalam jangka waktu terlama. Soeharto juga pernah memimpin Indonesia dalam swasembada pangan dan seterusnya. Kalau melihat deretan alasan itu, tampaknya memberi label pahlawan ke Soeharto tidak rumit ya?
Tapi, di sisi lain ia juga dituduh melakukan pelanggaran HAM berat. Ia juga banyak mendapat tudingan menyalahgunakan BUMN dan memperkaya dirinya sendiri. Nah, lho, tidak semudah itu kan?
Pertimbangan Yang Memberi Gelar Pahlawan
Untuk yang mau ngasih gelar pahlawan, ini menjadi suatu keputusan yang dilematis. Hal ini ya berdampak pada langkah politik dan juga nasib jabatan si pemberi gelar pahlawan. Mungkin misalnya, bagi yang memberi gelar pahlawan bagi Soeharto, ia akan mendapat tekanan politik. Terutamanya, tentu saja dari orang orang yang merasa menjadi korban kezoliman orde baru. Bisa bisa ia mendapat tekanan politik yang tak perlu hanya karena ia memberi gelar pahlawan.
“Ah ini kan hanya di kasus Soeharto!”
Tidak juga, jangan salah bahwa dulu ada kasus Usman-Harun. Dua anggota marinir ini mendapat persepsi yang sangat berbeda di mata masyarakat Singapura dan Indonesia. Bagi warga Singapura, dua sosok itu adalah teroris. Mereka mengebom Gedung MacDonald Singapura dan menewaskan tiga orang sipil dalam prosesnya. Tentu dalam definisi hari ini, tindakan itu termasuk dalam terorisme.
Namun, ketika jenazah mereka dibawa pulang setelah dihukum gantung, tidak kurang dari satu juta orang mengiring jenazah mereka ke peristirahatan terakhir. Usman Harun dianggap pahlawan karena turut ‘mengganggu’ proses berjalannya Singapura menjadi negara mandiri yang memang mendapat tentangan dari Presiden Soekarno waktu itu.
Dan masih banyak contoh lain sebenarnya dari proses pemberian gelar pahlawan ini. Ya, itu tadi, label pahlawan itu politis. Pemberiannya adalah tindakan politis dengan konsekuensi politis.
Memberi Gelar Pahlawan Sebagai Langkah Politik Masa Depan
Ya, ada juga yang ingin ada gelar pahlawan untuk langkah politik selanjutnya meski pembuktiannya cukup sulit. Ketika Sarwo Edhie Wibowo mendapat gelar pahlawan saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, timbul kritik. Ada yang menganggap ini nepotisme karena Sarwo Edhie adalah mertua SBY. Tidak sedikit yang menganggap ini adalah cara SBY untuk menjadikan Sarwo Edhie aset Partai Demokrat sebagai modal kampanye di tahun tahun berikutnya. Sarwo Edhie sendiri meski memiliki rekam jejak baik sebagai tentara, juga terlibat kontroversi pembantaian orang orang yang di’PKI’kan di tahun 70an.
Meski tidak bisa dibuktikan, kita kembali ke awal lagi bahwa penguasa itu mendapatkan kekuasaanya dengan politis dan ya pasti mempertahankannya juga dengan cara cara politis. Secara teori ya begitu. Termasuk memberikan gelar pahlawan itu ya dengan maksud politis.
Jadi, Pahlawan atau Tidak?
Perdebatan siapa pahlawan dan siapa yang bukan akan terus berjalan sesuai dengan sudut pandang masing masing orang. Namun, kita tidak harus pusing dengan pemberian gelar pahlawan secara resmi. Pada akhirnya, ada sisi baik dan sisi buruk setiap orang dan sudah seharusnya kita mengambil hikmahnya. Tidak perlu langsung percaya seseorang itu sempurna jika ia mendapat gelar pahlawan. Tak perlu juga merasa nyinyir, jika seorang sosok anak bangsa belum juga mendapat gelar pahlawan. Emang kenyataannya gelar pahlawan itu rumit lagi politis.
baca juga :
Tim Kubur Cepat Jenazah Corona : Cerita Tentang Mereka
[…] Pahlawan itu Politis , Suka Tidak Suka […]
[…] Pahlawan itu Politis , Suka Tidak Suka […]
[…] Pahlawan itu Politis , Suka Tidak Suka […]