Waktu Baca: 3 menit

Pernikahan seorang yang usianya masih belasan tahun sebetulnya bukan barang baru di millenium kedua ini. Sejak ribuan tahun lalu, sudah jamak terjadi perempuan menikah di usia yang belum genap 21 tahun. Artinya, ini sebetulnya peristiwa yang biasa-biasa saja. Tetapi yang membuat kita berpikir tidak biasa-biasa saja, adalah karena kemajuan pendidikan dan pemikiran umat manusia. Di kota-kota besar, perempuan yang menikah setelah lulus SMA bukanlah sebuah keharusan. Ya memang ada sih yang melakukannya, tetapi itu boleh dibilang sebagai tren, atau mungkin nasib?

Belakangan ini saya tahu beberapa perempuan yang dua tahun lalu saya kenali masih berseragam SMA, hari ini sudah menggendong bayi di rumahnya. Sementara itu sebagian besar teman-temannya seangkatan sedang asyik berkutat dengan jurnal ilmiah dan tugas kuliah. Meski ibu-ibu muda ini tampak ceria ketika menggendong bayi kesayangannya, tetapi saya tetap merasakan kekecewaan. Sebetulnya mereka punya kesempatan besar untuk bisa membangun hidup yang lebih baik. Mereka bisa kuliah dan menikmati kehidupan sebagai orang muda di usianya. Mereka bisa menggelorakan jiwa muda dengan menjadi aktivis tukang kritik pemerintah. Tetapi itu semua pupus ketika dalam sekian bulan mereka harus bertransformasi menjadi ibu muda.

Baca juga : Hamil karena Pacaran, Aborsi atau Pertahankan?

Tanggung Jawab sebagai Orangtua

Meski saya seorang laki-laki, tapi saya pun tahu bahwa perempuan ketika menjadi seorang ibu tidak saja berperan melahirkan dan menggendong bayi. Tidak sekadar dua hal itu saja, tetapi perempuan perlu berpikir tentang cara membesarkan dan mendidik anak. Soal cari makan, uang untuk beli susu dan popok bisa saja bergantung pada kemurahan hati papa mama dari si ibu muda itu; alias kakek-nenek si bayi. Tetapi persoalannya, keperluan membeli susu bayi itu sebetulnya bukan kewajiban orang-orang tua yang 10 tahun lagi akan pensiun kerja. Itu malah menjadikan tambahan beban.

Persoalan juga, tidak setiap pasangan remaja mau berlatih tanggung jawab secara total untuk membangun dan mempertahankan keluarga. Ketika teman-teman sebayanya terbiasa putus-nyambung dengan pacar, ini pasangan remaja tidak bisa melakukan hal yang sama. Tetapi himpitan antara beban mengurus keluarga muda dan daya tarik mengikuti tren teman-temannya, memicu pasangan remaja untuk melepas tanggung jawab sebagai orangtua. Singkatnya adalah minggat dari rumah.

Baca juga : Pernikahan dini tidak disarankan, ini alasannya. 

Menikah setelah lulus SMA adalah nasib

Saya sebut nasib, karena pernikahan adalah sebuah pilihan. Sekalipun pernikahan terjadi karena adat kebiasaan keluarga, atau bahkan karena dijodohkan orangtua, itu tetaplah sebuah pilihan. Dalam hal pernikahan dan perjodohan, urusan mengikuti atau menolak perintah orangtua adalah sebuah pilihan hidup. Terlebih lagi ketika pernikahan terjadi karena kasus hamil di luar nikah, itu juga tetap sebuah pilihan yang membawa nasib. Kalau perempuan dilahirkan dalam keluarga yang tajir melintir, crazy rich, dan deposito yang turah-turah, maka pernikahan di usia remaja akan membawanya pada tantangan psikologis. Tetapi ketika perempuan lahir dari keluarga yang pas-pasan, yang perekonomiannya biasa-biasa saja, maka pernikahan di usia remaja bisa jadi nasib buruk. Ia harus menghadapi tantangan ekonomi keluarga, plus beban psikologis ketika mengurus bayi dan pasangan yang masih remaja pula.

Pernikahan Remaja sebagai tren?

Kalau melihat sejarah umat manusia, sekali lagi, pernikahan di usia belasan tahun itu biasa-biasa saja. Tetapi kini ada pula ciwi-ciwi yang menjadikannya tren dengan mengatakan bahwa menikah setelah lulus SMA itu menyenangkan. Plus, mengajak teman-teman sebayanya untuk berani segera menikah. Yeah, pernikahan itu bukan soal berani atau tidak. Orang muda yang belum menikah bukan berarti ia tidak punya keberanian. Demikian pula, remaja yang sudah menikah sama sekali tidak menggambarkan bahwa dia punya keberanian. Toh pasangan muda yang yang tidak berani bertanggung jawab atas produk pernikahan mereka pun juga banyak. Urusan kawin-cerai yang bisa terjadi dalam rentang waktu sekian bulan saja itu cukup jadi gambaran tentang sikap pengecut untuk bertanggung jawab. Ini bukan tren, tetapi ini adalah jebakan tren.

Cobalah masuk dalam jebakan tren, maka itu akan mengubah alur hidupmu yang tadinya indah berbunga-bunga menjadi labirin gelap. Maka dari itu, kaum perempuan, pikirkanlah baik-baik sebelum mengambil pilihan untuk menikah setelah lulus SMA.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini