Waktu Baca: 3 menit

Sebelum bertempur dalam tawuran, pelajar Jogja bikin surat perjanjian bermeterai dulu, boss. Itulah uniknya Geng Stepiro dan Sase di Jogja yang tempo hari berolahraga tawuran di sekitar kawasan Madukismo, Bantul. Bagi saya, ini pemikiran anak-anak yang sungguh visioner. Mungkin semacam Konvensi Jenewa versi lokal, lah. Perang ada aturannya, tidak totalitarian. Tidak asal bras bres, tidak melibatkan pihak lain. Saya kira inspirasinya malah dari ajang pertempuran di medan perang dunia, tidak dari film macam Crows Zero.

Klithih, sajian khas Jogja

Bukan hanya Gudeg, Bakpia, Angkringan, rindu maupun senja yang jadi sajian khas Jogja. Kllithih juga bagian dari sajian khas malam di Jogja. Kalau tidak percaya, bergeserlah ke kota-kota terdekat semacam Solo, Magelang, Salatiga, Klaten, atau Purworejo. Di tempat-tempat itu tidak kita temukan klithih. Ya hanya di Daerah Istimewa 0274 ini kita bisa menemukan fenomena klithih. Tawuran antar pelajar dengan surat perjanjian bermeterai ini juga produk sampingan dari klithih itu. Hanya saja, pertempuran kali ini tidak melibatkan korban dari orang umum; tidak seperti klithih biasanya. Bahwa lantas menimbulkan keresahan masyarakat, itu sebuah keniscayaan

Apa yang salah dari dunia pendidikan kita?

Kita nggak perlu repot-repot mengkaji dan menganalisis kesalahan dalam dunia pendidikan Indonesia, sampai bisa muncul kekerasan antar pelajar. Toh pendidikan kita sudah ada standar nasional. Dari Aceh sampai Papua, pola belajar ya begitu-begitu saja. Jika ada yang salah dalam pendidikan kita, maka tentu klithih dan tawuran bisa terjadi di mana saja. Tetapi nyatanya, klithih dan tawuran terjadi di tempat yang itu-itu saja. Pendidikan kita memang bukan yang terbaik, tetapi ketika berhadapan dengan urusan tawuran antar pelajar, maka yang patut kita perbaiki malah pola pikir masyarakat.

Kekeliruan fatal kita adalah bersikap pasrah bongkokan urusan pendidikan anak pada institusi sekolah. Padahal kekuasaan sekolah pada anak amat terbatas, hanya pada jam pelajaran saja. Bahkan di jaman pembelajaran jarak jauh, kekuasaan sekolah terhadap anak makin terbatas lagi. Selebihnya, aktivitas anak menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Kalau sekelompok anak tawuran dengan label geng sekolah di jam sebelas malam, apakah lantas tanggung jawab dibebankan pada institusi sekolah?

Motif Tawuran

Bicara soal motif, ada banyak perspektif yang bisa kita pakai. Anak sekolah memang waktunya untuk mencari dan membentuk jati diri. Remaja memang khas dengan label sikap yang labil. Tetapi saya coba menawarkan perspektif kebutuhan terhadap rasa keberanian. Mari kita mengakui bahwa bagi orang dewasa, hidup itu sulit. Tidak hanya soal ekonomi dan sosial, dalam dimensi hidup yang lain pun kita mengalami kesulitan. Nah, kesulitan orang dewasa itu juga terasa dan terlihat oleh anak-anak.

Dalam situasi  hidup yang serba sulit, keberanian amatlah mereka perlukan. Nah, kebutuhan atas keberanian itu diterjemahkan oleh sebagai anak SMA dengan cara mereka sendiri. Keberanian lantas dilekatkan dengan heroisme, berani mati, berani berjuang, hilangnya rasa takut terhadap lawan dan kematian. Aku berani maka aku ada. Mungkin kalo Rene Descartes jadi anak SMA di Jogja, dia akan bilang Audeo Ergo Sum. Maka kalau aku cupu, takut, jiper, cemen, artinya aku dianggap tidak ada, tidak eksis. Bak korek api batang, tergesek dikit mudah tersulut. Itulah mereka pegiat tawuran pelajar.

Masalah perhatian orangtua

Memang, sebagian pelaku tawuran di Jogja itu punya latar belakang situasi keluarga yang tidak ideal; tidak utuh. Tetapi utuhnya keluarga dan besarnya kasih sayang orangtua pada anak, tidak menjamin bahwa anak sungguh terlepas dari rayuan untuk bertarung di jalanan. Masalahnya, kebutuhan akan rasa berani, tidak relevan bila kita jawab dengan pemberian kasih sayang orangtua.

Mendingan naluri bertempur itu mereka salurkan lewat kegiatan positif, misalnya ikut program bela negara komponen cadangan. Ikut tawuran maupun ikut Komponen Cadangan, sama sama bisa jadi sarana untuk menyalurkan naluri bertempur, sama-sama bermeterai juga. Malah lebih keren ikut Komponen Cadangan, dapat seragam.  Cuma masalahnya, anak-anak pegiat tawuran pelajar itu berani bertaruh nyawa di jalanan belum tentu juga berani bertaruh nyawa di pusat pelatihan tempur TNI.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini