Masa tersuram untuk mahasiswa adalah masa saat mereka harus berhadapan dengan suatu entitas bernama ‘tugas akhir’. Dua kata yang cukup membuat bulu kuduk mahasiswa semester akhir berdiri. Bagaimana tidak, rintangan yang menguji nyali tak hentinya mencoba merobohkan benteng mental para pengejar sarjana ini. Tak jarang, banyak dari mereka yang mengangkat bendera putih dan memilih untuk mengakhiri permainan secara sepihak karena tugas akhir belum kelar benar benar meneror psikologis ini.
Tapi, apakah sekuat itu pengaruh keberadaan sebuah tugas akhir bagi mahasiswa? Meskipun hanya berupa sebuah buku, perjuangan untuk menyelesaikan tugas akhir selalu menjadi kisah penuh liku nan menantang yang menguras emosi dan energi. Membuka dokumen tugas akhir di folder saja harus kita awali dengan hembusan nafas yang dalam, apalagi mulai mengetik. Tak jarang, ucapan istigfar terucap dari mulut mahasiswa saat melihat judul tugas akhirnya sendiri, seolah-olah ada sosok pocong yang nyempil di sisi layar laptop.
Kurangnya Motivasi Diri
Motivasi seseorang itu seperti ombak di laut—adakalanya mengalami pasang dan surut seiring berjalannya waktu. Mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir sering kali mengalami fenomena pasang – surut motivasi ini. Di awal-awal mereka merasa bersemangat untuk menyelesai tugas akhir, tapi tak lama kemudian menghilang dari riwayat bimbingan. Lalu, tiba-tiba mereka merasa tersulut oleh bara api saat melihat salah satu teman sudah mendaftar ujian seminar proposal. Wah, ketinggalan, nih! pikir mereka dengan bibir mengerucut. Kok bisa tugas akhir belum selesai, gak terimo aku!
Tak mudah memang menjaga motivasi untuk tetap stabil, terutama saat mengerjakan tugas akhir yang pada dasarnya bukanlah pekerjaan kelompok. Semua orang berjalan sesuai dengan ‘panas’nya motivasi di dalam diri masing-masing. Yang mampu menjaga api motivasi untuk tetap berkobar, ia lah yang akan menembus garis finish lebih cepat. Tapi bagi mereka yang memiliki motivasi kritis macam kobaran api lilin di tengah hempasan angin dan hujan, menghubungi dosen pembimbing saja sudah menjadi achievement yang besar.
Lalu, jika motivasi sudah berkobar dengan gagah, apakah secara otomatis mahasiswa tersebut cepat lulus?
Eits, tunggu dulu! Perjalanan tugas akhir tak pernah semulus jalan aspal baru. Motivasi pun perlu terimbangi dengan usaha yang konsisten. Ibarat ada bahan bakar tapi tak ada roda untuk menggerakkan kendaraan. Percuma saja punya motivasi tinggi tapi usaha untuk memulai tak ada. Kapan jalannya?
Dosen Pembimbing dan Etika
Jika bertanya ke mahasiswa semester akhir, satu hal yang selalu mereka keluhkan adalah: dosen pembimbing. Well, bukanlah rahasia lagi jika dosen pembimbing selalu menjadi trending topic di obrolan mahasiswa akhir, mulai dari banyaknya revisi yang didapat dari beliau sampai sulitnya membuat perjanjian bertemu. Giliran sudah mendapat persetujuan untuk bertemu, tak jarang mahasiswa terbiarkan terlantar di depan ruang dosen sampai sore hari. Alasan tipikal pun menyertai saat dosen pembimbing akhirnya muncul dan lebih nyesek lagi ketika mendengar beliau berkata, “Besok saja, ya!”.
Tak berhenti di situ saja, ada etika tertulis dan tidak tertulis jika berhadapan dengan kelompok masyarakat bernama ‘dosen’ ini. Yang paling umum adalah etika berkomunikasi lewat media elektronik. Mahasiswa dituntut untuk lebih ‘sensitif’ dengan eksistensi mereka di kampus, mulai dari waktu yang sopan untuk menghubungi, susunan pesan yang harus terdiri dari salam-pengenalan-inti-penutup, sampai kesadaran bahwa dosen itu juga manusia yang mempunyai perasaan dan privasi. Ya, dosen pembimbing itu juga manusia, lho, bukan robot yang siap melayani mahasiswa dengan segala macam pertanyaan 24 jam penuh layaknya mesin pencarian Google. Hal-hal subtle ini sering luput dari perhatian mahasiswa, makanya tak jarang dosen mengeluh tentang nihilisme dari attitude mahasiswa di ruang dosen.
Beban Kerja Dosen
Tahu, gak, kalo dosen juga punya tugas layaknya kalian mendapat tugas dari beliau? Dilansir dari LLDIKTI, dosen sejatinya memiliki Beban Kerja Dosen (BKD), yaitu beban SKS yang diterima oleh dosen saat melaksanakan Tri Dharma dalam satu semester dengan kurun waktu minimal 12 SKS dan maksimal 16 SKS. Tri Dharma meliputi pengajaran akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Suatu sumber menambahkan jika dosen saat ini sudah mulai terbebani dengan tugas administrasi dengan mengisi borang, laporan tahunan dan evaluasi diri.
Beban inilah yang terkadang menghambat kinerja dosen dalam hal bimbingan tugas akhir. Tak ayal, waktu dan tenaga mereka tersita oleh bayangan-bayangan tugas tersebut. Belum lagi jika beliau mempunyai jabatan penting di universitas dan harus ‘ngebut’ dari rapat satu ke yang lain. Apa tidak capek? Ya, capek, dong! Satu sisi dari para dosen yang sering diabaikan dari sudut pandang mahasiswa adalah: keluarga.
Meski jarang terlihat, anggota keluarga dosen pun butuh atensi, layaknya mahasiswa butuh bimbingan. Dosen juga punya istri/suami dan anak yang perlu mendapatkan perhatian setelah bekerja seharian di dunia akademik. Dengan jumlah mahasiswa bimbingan yang tak sedikit, para dosen pasti mempunyai hasrat untuk ‘melarikan diri’ sejenak dan berkumpul dengan keluarga untuk menghilangkan penat. Jadi, menuntut dosen untuk selalu ada untuk mahasiswa jelas terdengar tak manusiawi.
Seperti yang diucapkan oleh Jane Fonda: no pain, no gain. Kalau mau tugas akhir kelar, ya usaha! Usaha tidak terbatas menyalurkan motivasi yang ada di dalam diri dengan rutin menyicil tugas akhir setiap hari, tapi juga usaha untuk tetap sabar menghadapi dosen pembimbing. Sebuah tugas akhir dikatakan sempurna jika mahasiswa mampu bertahan di tengah terjangan rintangan sampai akhir dan dinyatakan lulus.
Tetap semangat untuk para pejuang tugas akhir!
Sumber Gambar : Maltese Fields
Baca juga :
Suara Tangisan di Perpustakaan UGM
Tips Memilih Tempat Kuliah Secara Tidak Jujur
[…] Tugas Akhir Belum Kelar Kenapa Ya? […]