Hak untuk berpendapat adalah hak dasar semua individu, baik di kehidupan nyata maupun virtual seperti Facebook, Twitter, TikTok, Snapchat, dan lainnya. Khusus di platform Twitter, kita sering menemui frasa no salty di kolom komentar. Frasa ini semakin umum digunakan, terutama saat kita ingin nimbrung untuk berdiskusi tentang berbagai hal, termasuk topik sensitif. Tak bisa dipungkiri jika budaya no salty menjadi tameng untuk kita mengutarakan pendapat di media sosial sebagai salah satu cara menghindari fenomena ‘digaremin’ oleh netizen. Jadi, No Salty itu apa je?
Budaya No Salty Itu Apa Sih?
Dilansir dari Urban Dictionary, frasa no salty adalah ungkapan alternatif dari ‘don’t be salty’. Kata ‘salty’ secara harfiah bermakna ‘mengandung garam’. Jika kita mendefinisi ulang kata ini, ‘salty’ dapat berarti ‘merasa marah, tersinggung, atau kesal’ karena representasi kata ‘salt’ atau ‘garam’ yang dapat membuat luka terasa perih atau menyakitkan. Singkatnya, no salty mempunyai maksud ‘jangan tersinggung’ dan ini biasa netizen gunakan untuk memberi peringatan ke orang lain bahwa isi komentar atau ucapan kita dapat memancing emosi mereka.
Berpendapat yang Berujung Bonus Garam
Mengutarakan isi hati dan pikiran adalah bagian dari hak dasar manusia. Hak ini gak cuma terbatas dalam komunikasi langsung atau tatap muka, tapi juga dalam lingkup virtual seperti media sosial. Di media sosial, khususnya, tempat semua orang punya pilihan untuk hadir dengan identitas asli atau tidak, kebebasan untuk berpendapat semakin lepas terkoar-koar. Semua punya hak yang sama untuk mengetik hampir apapun yang melintas di benak masing-masing sampai terkadang beberapa orang tersulut oleh isi tulisan yang ada. Tak jarang, serangan dari pengguna akun lainnya menyerbu tanpa ampun ke tulisan yang bagi mereka tidak relate atau terasa konyol.
Berpendapat berujung serangan di media sosial bukanlah fenomena yang baru. Kita sebagai pengguna media sosial di Indonesia pernah mendapat tamparan kas secara internasional ketika mendapat label ‘netizen kasar’ pasca perilisan hasil survey Digital Civility Index (DCI) oleh Microsoft.
Sebagai pengguna Twitter, saya akui sering menemui kasus di mana sebuah tweet mendapat banjir komentar pedas. Bukan main-main, beberapa pengguna takkan segan memaki dan menggiring nama-nama hewan ke dalam kolom komentar sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap isi tweet tersebut.
Entah apa yang membuat pengguna media sosial sebebas ini di platform digital. Apakah karena mereka sedang bersembunyi di balik gambar ava akun dan berdalih dengan nama anonim dan samaran sehingga merasa aman dan orang lain takkan menemukan identitas asli mereka? Apakah netizen Indonesia benar-benar sudah kehilangan etika untuk menjaga typing di media sosial meskipun mereka memakai identitas palsu?
Berpendapat, ya, Harus Ada Etika!
Saya pernah bertanya ke pengguna Twitter: Kenapa, sih, sekarang banyak yang pakai ‘no salty’ di Twitter? Padahal kita punya hak untuk berpendapat. Jawaban yang saya dapatkan beragam—ada yang berpendapat jika pengguna Twitter gampang tersulut emosi; ada yang mengatakan jika ‘no salty’ adalah jalan aman untuk berkomentar agar tidak mendapat serangan. Lalu, ada yang menyinggung bahwa berpendapat di media sosial pun harus memikirkan perasaan orang lain.
Saya cukup tertarik untuk mengulik tentang poin terakhir, yaitu pertimbangan perasaan orang lain dalam berinteraksi di sosial media. Dari penggalan pengalaman saya bermain di Twitter barusan, kita bisa melihat jika masih banyak pengguna media sosial yang lupa cara memilah kata-kata mana yang pantas untuk berkomentar.
Seolah-olah menyerang dengan semua kosakata yang ada di kamus adalah tindakan yang adil untuk membalas pendapat seseorang. Padahal, jika kita berhenti sejenak terlebih dahulu, ada cara lain yang lebih baik yang bisa kita gunakan. Jika kita memilih untuk menyemprot dengan asal, apa itu tidak akan menyakiti orang yang mendapat serangan juga?
Permasalahan etika dan budaya no salty memang takkan pernah habis. Honestly, miris juga jika kita menilik kembali ketikan-ketikan netizen media sosial di Indonesia. Ingin pendapatnya mendapat rekognisi, tapi ndak mau menghargai keragaman isi pikiran orang lain. Maunya gak di-salty-in, tapi ketikannya macam truk gandeng lepas rem. Jadi gimana, nih?
Sumber Gambar: @sigmund
Baca juga :
Seni Mural Adalah Media Kritik Nasional, Jangan Dikritik
Data Pribadimu, Kenali dan Lindungi