Waktu Baca: 3 menit

Buku self-help atau self-improvement bukanlah hal yang menarik di mata saya dulu. Genre buku ini terkesan terlalu psikologis dan hanya diperuntukkan bagi kaum yang desperate oleh pertolongan dan pencerahan dalam hidup. Kesan pertama saya terhadap buku self-help sangatlah negatif sampai saya memberanikan diri untuk mencoba membaca satu judul, yaitu The Power of Habit dari Charless Duhigg. Alasan saya membaca itu karena bosan dengan genre fiksi. Tanpa disangka, saya langsung jatuh cinta ke buku tersebut pada bab pertama. Dan sejak saat itulah saya rutin membaca buku self-help, walaupun bisa dibilang saya masih newbie. Ada banyak judul buku yang belum saya baca, tapi sejauh ini saya berhasil memetik beberapa pelajaran hidup penting yang bisa kita renungkan bersama. Buku self-help dan pelajaran di dalamnya sungguh luar biasa.

Hidup Terlalu Berharga untuk Diburu

Salah satu hal signifikan yang saya sadari setelah membaca beberapa buku self-help adalah menikmati semua momen hidup yang sedang berjalan. Saya dulu beranggapan bahwa bersantai-santai adalah hal yang ceroboh dan tak patut diikuti. Hal ini identik dengan orang-orang yang suka menunda pekerjaan dan tak peduli dengan tugas yang ia punya. Tapi suatu buku menyadarkan saya bahwa: it’s okay to slow down.

Tak ada salahnya jika kita bersantai dan menikmati semua hal yang ada di sekitar kita. Toh, semua orang mempunyai laju hidup yang berbeda, kenapa berlari seolah hidup ini turnamen marathon tingkat dunia? Seperti yang dinarasi oleh tokoh Filosifus di buku ‘The Courage to be Disliked’: We’re equal, but not the same—kita setara, tapi tak sama. Kita setara dalam dalam konteks berjuang menuju ke tujuan hidup masing-masing, tapi bukan berarti kita harus menyamakan langkah kita dengan yang lain. Santai saja, kawan, dan nikmati momen hidup dengan baik dan bijak.

Menghargai Pandangan, Bukan Memaksa

Tokoh Filsuf juga pernah mengutarakan satu kalimat sederhana ke tokoh Pemuda: the world is subjective… we’re making it complicated—dunia ini subjektif… kita saja yang membuatnya tambah rumit. Hal ini pun sejalan dengan pendapat Haemin Sunim di bukunya ‘The Things You Only See When You Slow Down’, yang menyatakan bahwa dunia itu sebenarnya subjektif—penuh dengan perspektif atau pandangan yang berbeda dari berbagai macam individu.

Di era di mana semua manusia dapat menyalurkan pendapat dan ide ke orang lain secara terbuka, kita tanpa sadar tenggelam oleh kebebasan beropini ini sampai kalap dan lupa bahwa yang kita baca dan dengar dari orang lain adalah hal subjektif.

Kita dengan mudah melabel seseorang dengan semburan ‘Kamu salah!’ jika pendapat yang diutarakan berbeda dengan keyakinan yang dianut. Seolah-olah kita adalah entitas paling benar di jagad ini. Padahal, pandangan seseorang terhadap suatu hal bisa saja berbeda dengan milik kita. Tak perlu memaksakan doktrin kita untuk dianut orang lain karena pada dasarnya dunia yang mereka lihat belum tentu sama dengan kita. Hargai, bukan paksa.

Teruslah Berjalan, Meski Langkah Kecil

Siapa yang pernah merasa minder melihat postingan orang lain di media sosial yang berisi achievement dan kisah kesuksesan di usia muda? Well, kalian tidak sendiri. Saya pun, honestly, pernah di posisi di mana saya perlu hiatus dari media sosial dikarenakan postingan semacam itu.

Rasanya, hidup saya terlalu datar jika saya bandingkan dengan hidup mereka yang sudah berada di puncak bukit. Kecenderungan membandingkan hidup pribadi dengan hidup orang memang tak bisa kita hindari seluruhnya. Hal semacam ini secara tidak langsung menumbuh jiwa kompetisi yang belum tentu sehat, lho!

Ada satu kutipan yang saya suka: no need to compare oneself with others—tak perlu membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Seperti yang saya singgung di bagian awal bahwa setiap individu berjalan di jalur hidup masing-masing. Cepat atau lambat, hal itu tak seharusnya menjadi masalah.

Tapi tetap saja, kita cenderung membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan beranggapan bahwa hidup kita kurang ‘wah’ jika tidak memiliki satu achievement seperti orang tersebut. Daripada menghabiskan waktu untuk mengukur laju hidup kita dengan orang lain, alangkah baiknya jika kita fokus ke pengembangan diri sendiri. Kebahagiaan pun akan dengan mudah datang ke diri kita.

Kita Terlalu Berharga untuk Hidup Di bawah Standard Orang Lain

Membaca buku self-help membantu saya untuk mendalami diri sendiri dengan lebih baik dan personal, termasuk untuk pertanyaan tentang apa yang saya inginkan dalam hidup. Kita punya hak mutlak untuk mengatur bagaimana hidup kita berjalan. Kita punya hak penuh untuk memilih hal apa yang ingin kita lakukan dan nikmati. Orang lain? Mereka hanyalah penonton semata. Pemain sebenarnya dalam hidup kita, ya, diri kita sendiri! Kita adalah peran utama dalam teater hidup kita, jadi kenapa masih mengikuti skenario yang orang lain tulis?

Menjelajahi berbagai genre buku memang menyenangkan dan penuh petualangan, tak terkecuali membaca buku self-help. Jenis buku ini membantu kita untuk melihat dan menjelajahi diri, melihat potensi apa yang bisa kita kembangkan, dan membantu kita untuk menjadi pribadi yang lebih bijak dalam menyikapi hal-hal yang ada di sekitar. Jika kalian membutuhkan sesuatu sebagai bahan refleksi diri, tak ada salahnya mencoba membaca buku self-help dan mengambil pelajaran pelajaran penting di dalamnya.

Baca juga :
Pahlawan Saya Adalah Diri Sendiri

Masih Kecil Tapi Sudah Tua

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini