Waktu Baca: 2 menit

Orang Jawa punya pepatah, dunia seluas daun kelor. Ini untuk mengatakan bahwa betapa sempitnya dunia. Pohon kelor memiliki daun yang tak lebih dari kuku jempol tangan. Ungkapan ini kerap muncul ketika kita berjumpa dengan kenalan asing, yang ternyata masih connect dengan kawan atau keluarga kita. Ini artinya, circle kenalan kita di situ-situ saja, belum berkembang. Kalau pun relasi kita meluas, ternyata masih ada kaitan satu sama lain. Nah, saya punya asumsi baru. Dunia kita tidak lebih dari filter bubble dan algoritma media sosial kita. Pada akhirnya keluasan wawasan kita tidak lebih dari hal-hal yang memang kita sukai.

Anak Twitter vs Anak Facebook

Bagi saya, melihat orang-orang yang terkungkung dalam filter bubble adalah temuan yang menarik. Orang merasa dunianya adalah yang paling benar, paling baik, paling update, dan paling manusiawi. Sementara itu pihak yang di luar lingkaran dunianya adalah pihak yang kurang baik. Saya sering menemukan cuitan anak Twitter yang mengolok-olok pengguna Facebook sebagai pihak yang mudah emosional, tukang sebar hoax, dan kaum yang tidak asyik. Dari arah sebaliknya, anak Facebook pun menganggap anak Twitter sebagai tukang bully. Tentu saja ribuan pengguna Facebook tidak mewakili ratusan juta pengguna Facebook. Pun demikian, ribuan pengguna Twitter tidak mewakili gambaran ratusan juta pengguna twitter. Dunia media sosial ini hanyalah soal filter bubble dan algoritma saja. Kita bisa saja keluar dari filter bubble. Hanya masalahnya, tidak banyak orang yang berminat untuk itu. Lebih asyik berdiam dalam filter bubble sendiri.

Baca juga : Puasa Medsos, Yuk! Mungkin Kamu Butuh

Fear Of Missing Out (FOMO)

Pada masing-masing kategori algoritma, orang punya kekuatiran untuk jadi terlambat mengikuti trending topic. Orang merasa nyaman ketika bisa nyambung ngomong soal trending topic. Misal kasus Randy di Pasuruan, orang berlomba-lomba mencari tahu dan membahasnya habis-habisan. Padahal kasus itu tidak laku bagi orang-orang di kepulauan area Indonesia timur. Atau misal topik soal Gunung Semeru, itu juga nggak laku untuk orang-orang di Sintang yang masih pusing soal banjir. Ini artinya, orang punya dunianya masing-masing. Sebetulnya ini hal biasa saja, sih. Jaman dulu pun orang Bali belum tentu tahu apa yang terjadi di Semarang. Tetapi di jaman sekarang, dunia yang personal itu makin menguat. Fear of Missing Out (FOMO) makin menjadi-jadi, karena dunia terasa makin sempit.

Baca juga : Fomo Menyiksa, saatnya kita menghindari

Kebiasaan Open Minded

Untuk memecah kesunyian dunia yang seluas filter bubble itu, orang menggunakan strategi open minded. Ketika kita memiliki pikiran yang terbuka, kita menjadi orang yang tidak mudah kaget, tidak gampang heran, dan mudah menerima keadaan orang lain. Orang-orang kita sedang hobi menyuarakan open minded untuk melawan pemikiran yang sempit. Tapi pola pikir ini sebetulnya tidak asal pakai. Sebelum kita membuka pikiran terhadap orang lain, kita sendiri harus punya prinsip hidup yang kuat. Kita punya tata nilai yang mapan dan meyakinkan untuk diri sendiri. Hanya saja, prinsip hidup itu tidak boleh kita paksakan pada orang lain. Tanpa prinsip hidup, kebiasaan open minded hanya akan membuat kita terombang ambing tidak jelas. Kita terbuka menerima pemikiran siapapun, hingga akhirnya bingung karena antar pemikiran bisa saling bertentangan.

Menjadi open minded juga berarti kita siap berjumpa dengan mereka yang closed minded, tanpa harus menyerang mereka. Kalau kita mengaku open minded tetapi masih gemar menyerang mereka yang berbeda pendapat, ah itu namanya setali tiga uang. Sama saja boong.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini