Waktu Baca: 3 menit

Akhir tahun ini beranda berita negeri kita diramaikan dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh berbagai oknum dari lintas profesi. Korbannya tak lain dan tak bukan adalah kaum perempuan. Tindakan yang berbau paksaan ini tak hanya menimbulkan rasa tak nyaman bagi korban, tapi juga mencoreng martabat dan harga diri sampai, yang kita tahu dari kasus mahasiswa Universitas Brawijaya, si korban merasa depresi dan akhirnya memilih untuk bunuh diri. Ya, separah itu efek yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual. Dewasa ini kita wajib mengaktifkan tombol darurat kekerasan seksual di Indonesia atas maraknya laporan yang muncul baik di media atau tidak. Jangan sampai paradigma bahwa kekerasan seksual salah perempuan terbiarkan begitu saja.

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Dalam satu kesempatan webinar, Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang mengungkapkan jika dalam sepuluh tahun terakhir, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia yang telah tercatat adalah sebanyak 2.775.000 kasus.

Itu artinya, dalam hitungan hari ada sebanyak 760 kasus kekerasan seksual terjadi di negeri kita. Angka statistik ini bahkan belum mencakup kasus kekerasan yang tidak terlaporkan, yang bisa saja lebih besar.

Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 yang dimiliki Komnas Perempuan, di tahun 2020 saja ada 299.911 kasus. Meskipun jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan tahun 2019, yang meroket ke angka 431.471 kasus, kita tak bisa menampik kenyataan jika kekerasan seksual terhadap perempuan masih terjadi di lingkungan sekitar kita. Data ini juga sebagai alarm bahwa Indonesia darurat kasus kekerasan seksual.

Siapa Aja sih Pelakunya?

Kalian penasaran, gak, golongan mana aja yang termasuk dalam kategori pelaku kekerasan seksual? Kalau menilik dari CATAHU 2021, pacar menduduki posisi pertama sebagai golongan pelaku kekerasan seksual dalam ranah KDRT. Mantan pacar, ayah, saudara atau kerabat, dan ayah kandung juga masuk ke golongan pelaku seksual dengan jumlah data yang cukup tinggi, lho! Duh, ngeri banget, ya? Orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi perempuan terdekat dari bahaya kekerasan seksual malah menjadi pelaku. Miris!

Kekerasan Seksual Juga Bisa Terjadi di Internet, Lho!

Kekerasan seksual tak melulu terjadi di kehidupan nyata saja. Tindakan pelecehan ini juga bisa terjadi di dunia maya. Kekerasan berbasis gender online (KGBO) atau bisa kita sebut dengan kekerasan siber berbasis gender adalah sebutan untuk kekerasan seksual yang dilakukan seseorang ke pihak lain melalui internet. Kejahatan ini biasanya melalui media sosial, situs kencan, situs hiburan, perangkat teknologi, dan akun personal.

Tindakan yang masuk ke kategori KGBO dikelompokkan menjadi delapan jenis, yaitu pendekatan memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten illegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutment online (online recruitment).

Efek yang bisa timbul oleh kasus KGBO tak jauh dari kekerasan seksual pada umumnya, yaitu bisa menimbulkan kerugian psikologis seperti depresi, kecemasan, dan ketakutan. Selanjutnya ada keterasingan sosial karena merasa ada tindakan mempermalukan; kerugian ekonomi; mengurangi hak korban untuk bersosialisasi; dan menghilangkan rasa percaya diri korban. Bisa bisa korban memutuskan diri dari akses informasi dan internet.

Kamu, sih, Pake Baju Minim!

Pasti kalian sering mendengar komentar ini, kan? Seolah olah kekerasan seksual ya karena salah perempuan. Kalau berbicara soal kasus kekerasan terhadap perempuan, rasanya kaum hawalah yang salah. Mereka selalu berada di posisi sebagai alasan si pelaku melakukan tindakan kekerasan. Padahal kan setiap orang bebas berdandan dan berperilaku sebagai apa.

Yang paling umum sih soal cara berpakaian perempuan di tempat umum. Banyak tudingan pada baju yang terlalu ketat, minim, atau terbuka. Sebaliknya, Veryanto menganggap bahwa mindset pelaku kekerasan seksual lah yang perlu kita benahi. Jika kita menuding model baju perempuan sebagai alasan satu-satunya, rasanya sangat tak adil.

Bagaimana dengan pelaku? Apakah kita yakin pelaku kekerasan mempunyai cara pandang yang sehat terhadap perempuan-perempuan di sekitarnya? Dari kasus pemerkosaan santri di Bandung, kita bisa mengambil kesimpulan baru bahwa pakaian perempuan tak sepenuhnya bisa kita jadikan kambing hitam di balik tindak pelecehan.

Dalam setiap kasus, baiknya kita melihat dua sisi dan bukannya fokus ke satu pihak saja. Perempuan yang mendapat kekerasan seksual sudah seharusnya mendapat perlindungan dan upaya pemulihan mental dan psikis, bukannya serta merta menjadi pihak tersalahkan tanpa menggali motif si pelaku.

Baca juga :
4 Omelan Hits Dari Mama Yang Bikin Kamu Mewek

Perempuan Menikah Setelah Lulus SMA, Trend Atau Nasib?

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini