Mudah mengkategorikan suatu tindakan sebagai korupsi. Menerima gratifikasi, jelas termasuk dalam korupsi. Hal ini tertuang dalam UU no 11 tahun 2001. Apa yang disebut sebagai gratifikasi adalah segala jenis pemberian baik itu berbentuk elektronik/non elektronik dan atau di luar maupun di dalam negeri. Ada pengecualian, misalnya kalau pemberian itu untuk kedukaan atau pesta hajatan. Maksimal tidak boleh lebih dari satu juta rupiah. Bagaimana dengan suap? Sama, bahkan diatur lebih rinci yaitu dalam UU no. 11 tahun 1980. Namun, banyak juga tindakan yang ada di area abu abu. Korupsi dalam norma dan hukum positif sangat berbeda.
Perselingkuhan Bisnis dan Politik
Bagaimana kita bisa mendefinisikan korupsi jenis ini? Fareed Zakaria dalam bukunya, The Future of Freedom pernah mengatakan bahwa demokrasi adalah jenis politik yang mahal. Karena mahal itulah, maka sumber sumber finansial seperti korporasi menjadi penting. Nah, yang menjadi masalah, ketika politisi mencari sumber finansial dari korporasi, apakah tidak ada kepentingan korporasi di sana? Sementara korporasi sendiri adalah sebuah badan yang mencari keuntungan/ profit bukan melulu kesejahteraan rakyat. Tapi, kan tidak mungkin melarang pebisnis atau korporasi untuk terlibat dalam politik. Benar begitu kan?
Di sinilah area abu abu terbentuk. Banyak yang menganggap ini bentuk korupsi. Di sisi lain, hukum positif memang tak bisa menghukum kejahatan yang seperti ini.
Mencegah Korupsi Sistemik
Ada solusi untuk mencegah korupsi. Ya, pencegahan mungkin terdengar tak se-seksi penangkapan, namun ini mungkin lebih berhasil dibandingkan dengan menangkap. Ketika kita ingin mencegah korupsi, kita bisa melakukannya secara sistemik.
Secara singkat, bagaimana kita membuat sistem yang menyulitkan orang melakukan korupsi dalam berbagai bentuk. Salah satu yang pernah diusulkan Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur DKI Jakarta, adalah dengan membuktikan harta secara terbalik bagi pejabat. Hal ini membuat tiap pejabat harus meyakinkan negara bahwa harta mereka benar benar ‘asli’.
Kemudian, pernah ada usulan bahwa dana kampanye bagi calon legislatif dibatasi. Pembatasan ini membuat anggota legislatif tak lagi bisa bertarung ‘kuat-kuatan’ budget. Sebaliknya mereka harus bertarung di tataran visi misi dan ide. Secara jangka panjang, ini akan mengurangi kemungkinan partisipasi korporasi dalam mempengaruhi keputusan legislatif.
Selanjutnya, pencegahan korupsi sistemik yang didengung dengungkan adalah pemisahan BUMN dengan pemerintah. Ya emang aneh, di seluruh dunia konon hanya Indonesia dan Tiongkok yang memiliki kementerian BUMN. BUMN harus mandiri dan keluar sebagai holding yang mandiri. Hal ini supaya BUMN tidak terkontaminasi kepentingan politik. Selain itu, saham saham BUMN harus mulai ‘disebar’ ke masyarakat umum, kelompok swadaya masyarakat dan seterusnya. Hal ini tak lepas dari usaha agar suara suara rakyat juga sampai ke BUMN.
Toh, BUMN tak selamanya fokus pada profit karena sesungguhnya ada kepentingan rakyat luas di sana.
Korporasipun Harus Dibatasi
Ya, korporasi dengan budget raksasa seperti di Amerika Serikat, cukup kuat untuk menyetir kebijakan pemerintah. Hal hal macam ini sebenarnya layak mendapat pencegahan yang layak. Haruslah ada undang undang untuk mengatur seberapa jauh korporasi bisa terlibat dalam politik. Ini amat penting.
Sederet aturan aturan ini harapannya bisa menjembatani pemahaman korupsi dalam norma masyarakat dan hukum positif agar tak ada kerancuan di tengah tengahnya. Maka, harapannya, suatu hari, kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan utuh seutuhnya.
Gambar oleh : Markus Spiske
Baca juga :
Ahok dan Haji Lulung adalah Rivalitas Legendaris Indonesia
Berpendidikan Tapi Rasis? Bisa Jadi!