Waktu Baca: 3 menit

Saya teringat dengan salah satu tema yang diusung saat Indonesia merayakan hari Pendidikan Nasional. Tema yang diusung pun sangat terasa istimewa. Belajar dari COVID 19. Spanduk bertuliskan tema tersebut menghiasi sekolah-sekolah, tidak ketinggalan pula poster berisikan kalimat tersebut juga memenuhi linimasa media sosial. Kedatangan corona ke Indonesia telah memukul semua sektor, termasuk juga pendidikan. Ruang-ruang kelas hampa, tidak ada canda tawa. Para pengajar pun juga tidak bisa bertatap muka dengan siswanya. Corona telah memberikan kita semua sebuah kesempatan berefleksi dan berstrategi. Tetapi apakah kita benar-benar akan belajar dari corona setelah ia menghilang? Apa kabar pula kurikulum kebencanaan?

Pertanyaan di atas tampaknya bukan isapan jempol semata. Sebuah peristiwa yang terjadi nantinya akan menjadi pengalaman serta dikristaliasikan menjadi pembelajaran. Negara yang besar adalah negara yang berani belajar. Pemerintah yang terkesan lambat dan gagap dalam menangani corona juga patut dipertanyakan. Padahal badan kesehatan dunia (WHO) sudah memberikan early warning kepada seluruh negara akan adanya kemungkinan pandemi global. Tampaknya pemerintah Indonesia menanggapinya sebagai angin lalu saja.

Masih terkait dengan tema yang diangkat oleh Kemendikbud, yakni menggunakan kata belajar. Kata tersebut tampaknya masih belum bisa dipahami dan dilakukan dengan benar oleh para pengambil kebijakan baik di level pusat ataupun daerah. Hal ini jelas sekali dilihat dari buruknya komunikasi serta kebijakan yang diambil. Dalam keadaan darurat seperti ini harusnya bersifat one command. Permasalahan klasik seperti ini selalu terjadi di negeri ini

Kembali ke masalah belajar. Ranah yang terkait langsung dengan kata tersebut adalah pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya pendidikan juga memegang peranan penting dalam menangani sebuah keadaan darurat (bencana). Melalui pendidikan akan diperoleh sebuah kesamaan pandangan antar individu. Sehingga akan mudah dalam mencerna informasi yang diberikan ketika bencana terjadi seperti halnya ketika menghadapi COVID 19. Derasnya arus informasi membuat oaring secara bebas lepas dalam menafsirkannya. Pola pikir di masyarakat adalah aku, bukan kita dalam merespon corona. Muncullah panic buying, penimbunan masker, APD dan hal lainnya yang merugikan orang lain. Inilah akibat jika kita tidak memiliki pengetahuan dasar tentang kebencanaan. Bandingkan dengan negara yang sudah menerapkan kurikulum kebencanaan. Rakyatnya akan dengan senang hati mematuhinya.

Pendidikan juga berkaitan dengan kurikulum yang diajarkan kepada para siswa di sekolah. Salah satu yang masih menjadi wacana hingga saat ini adalah integrasi kurikulum kebencanaan ke dalam mata pelajaran di sekolah. Keberadaan kurikulum kebencanaan sangatlah penting untuk dikenalkan sejak jenjang pendidikan paling dasar. Kita semua paham bahwa Indonesia “bersahabat” dengan kejadian bencana. Dengan adanya kurikulum kebencanaan maka secara tidak langsung akan menguatkan kapasitas masyarakat yang rentan akan kejadian bencana.  Ini menjadi hal yang penting mengingat keterbatasan personel dan sarana prasarana yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga harapannya adalah masyarakat mampu untuk bertahan hidup dalam menghadapi kejadian bencana.

Lantas seperti apakah kurikulum kebencanaan yang diterapkan di sekolah? Kurikulum kebencanaan yang berbasis kearifan lokal. Tidak bisa kita melakukan generaliasi pengetahuan kebencanaan setiap daerah di Indonesia. Pendidikan yang baik adalah membebaskan bukan memaksakan. Setiap daerah memiliki karakteristik ancamannya masing-masing. Selama ini yang terjadi adalah pengetahuan mitigasi yang diberikan masih bersifat umum. Respon setiap kejadian bencana tentunya akan sangat berbeda satu dengan yang lain. Misalkan saja ketika masyarakat di Yogyakarta merespon banjir yang terjadi. Pastinya akan sangat berbeda jauh dengan masyarakat di DKI Jakarta.

Pentingnya kearifan lokal dalam menerapkan kurikulum kebencanaan menjadi sangat terasa ketika COVID 19 melanda. Banyak sekali masyarakat yang tidak memahami dengan imbauan yang diberikan oleh pemerintah. Banyak sekali istilah asing yang harus mereka cerna. Mulai dari social distancing, lockdown, rapid test dan hal lainnya. Sebuah kebijakan tentunya akan bisa mangkus dan sangkil jika diterjemahkan hingga ke bahasa serta budaya masyarakat akar rumput. Tugas para pemerintah daerahlah untuk melakukannya, bukan hanya melakukan copy paste istilah tersebut dan menempelkannya ke baliho. Para pengambil kebijakan seharusnya memahami bahwa masyarakat Indonesia memiliki tingkat literasi yang rendah.

Kurikulum kebencanaan sebenarnya sudah lama sekali digagas oleh pemerintah sejak diterbitkannya UU No 24 tahun 2007 tentang kebencanaan. Padahal di lapangan sudah banyak tersedia Sekolah Sadar Bencana (SSB). Kuncinya adalah pemerintah melakukan integrasi antara kurikulum kebencanaan dengan SSB. Pada kenyataannya itu semua tidak terjadi. SSB akan berhasil jika dilakukan latihan berulang kali, tidak hanya sekali dalam setahun. Pendidikan yang benar adalah melakukan pembiasaan agar siswa tersebut terbiasa dengan materi mitigasi yang diberikan. Analoginya seperti ini, siswa tersebut tidak pernah diajari tentang ancaman erupsi gunung berapi. Tiba-tiba mereka disuruh untuk melakukan simulasi kejadian erupsi gunung berapi. Semacam mereka harus ujian tanpa diberi materi sama sekali.

Mengamini tema belajar dari COVID 19 sebenarnya pemerintah tidak akan mengalami kegagapan bila sudah menerapkan kurikulum kebencanaan. Justru pemerintah akan terbantu sekali. Siswa-siswa di sekolah akan menjadi agen-agen media penyebaran informasi mengenai mitigasi bencana. Mereka akan membagikan pengalaman ketika mendapatkan pembelajaran mengenai kebencanaan. Negara tentunya tak akan kesulitan dalam melakukan intervensi terkait kurikulum kebencanan. Semoga saja tidak melulu terbentur pada anggaran. Ini menyangkut nilai kemanusiaan. Harapannya adalah ketika virus COVID 19 menghilang, kita semua akan belajar menjadi lebih baik. Tema belajar dari COVID 19 memang terasa sangat kontekstual. Semoga saja tidak hanya menjadi slogan semata! (*)

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini