Dalam diskusi di Kompas.TV, anggota DPR dari Partai Nasdem, Irma Suryani Chaniago, menyatakan bahwa mafia karantina ada dan eksis di Indonesia terutama di bandara Soekarno Hatta, Tangerang.
Pada tanggal 14 Desember lalu, SE Satgas COVID-19 Nomor 25 Tahun 2021 diterbitkan. Peraturan tersebut berisi protokol kesehatan bagi pelaku perjalanan internasional yang masuk ke negara Indonesia, baik warga negara asli atau asing. Baru saja diterbitkan, surat edaran sudah menuai polemik dan tanda tanya dari masyarakat.
Bagaimana tidak, ketentuan karantina diperpanjang dari tujuh menjadi sepuluh hari. Ditambah lagi dengan poin fenomenal yang menyebutkan adanya peluang dispensasi masa karantina bagi warga negara Indonesia yang mempunyai jabatan sekelas eselon I. Wah, apa nih, kok udah ada bonus aja? Apakah karantina Indonesia memang pilih kasih? Darimana dasar penetapan sepuluh hari ini? Kenapa perpanjangannya mendadak dan rakyat tak mendapat penjelasan memadai?
Pengalaman Buruk Para Pelaku Karantina

Riza Nasser, seorang produser televisi, membagikan pengalamannya mengikuti karantina di laman Facebook. Dari cerita yang ia tulis, Riza membeberkan jika dirinya tiba di Bandara Seokarno-Hatta pada tanggal 8 Desember.
Seperti pendatang baru lainnya, ia mendapat arahan oleh petugas ke tempat pemeriksaan berkas perjalanan untuk menentukan tempat karantina. SE Satgas Nomor 25 sendiri menyebutkan jika karantina terpusat terbagi menjadi dua pilihan, yaitu karantina di wisma yang pemerintah sediakan atau karantina di hotel.
Riza mengaku saat itu ia mendapat tawaran untuk melakukan karantina di hotel dengan beban fee sebanyak Rp. 8.200.000 untuk sepuluh hari. Harga tersebut bahkan belum termasuk biaya makan tuturnya. Ia pun menolak tawaran petugas dengan dalih tak memiliki uang dan meminta pilihan alternatif yang lebih terjangkau. Tetapi petugas mengatakan jika itu adalah opsi paling murah.
Riza lalu harus menunggu seharian penuh hingga masuk rumah karantina terpusat di daerah Pasar Rumput. Ia sempat tertahan di bus berjam jam. Selama perjalanan, Riza mengaku bus penuh sesak tanpa jarak dan bahkan ada yang batuk batuk. Ruang tunggu rumah karantina juga penuh dengan orang berdesak desakan. Tidak ada protokol kesehatan yang memadai.
Pengalaman Tidak Enak Pemred Pakbob.id
Ternyata, anggota Pakbob.id, Ardi Pramonopun mengalami pengalaman tak mengenakkan. Ia pulang ke Indonesia tanggal 9 Desember 2021 karena mengantar ayahnya berobat ke Singapura. Saat akan melakukan check-in, ia diminta untuk booking hotel menggunakan aplikasi yang pemerintah sarankan. Ternyata semua hotel penuh. Iapun kebingungan dan kemudian menanyakan apakah ia bisa tetap terbang ke Indonesia. Akhirnya pihak maskapai membolehkan ia terbang dengan syarat booking hotel dulu lima hari sesuai dengan list hotel karantina. Singkat cerita, Ardi melakukan booking.
Namun, sesampainya di tanah air, ia ditolak untuk keluar dari karantina dan masuk hotel tersebut. Ardi diwajibkan untuk membeli paket hotel yang petugas sediakan dengan harga yang juga ditawarkan kepada Riza Nasser (8 jutaan-Red). Sempat tertahan selama lebih dari enam jam di bandara karena harus meminta pertanggung jawaban maskapai yang sudah memaksa Ardi membooking hotel, Ardi akhirnya terpaksa membayar karantina di hotel. Pertimbangannya adalah karena ayahnya sakit dan Ardi tak mau ambil resiko ayahnya tertular Covid 19 karena situasi di rumah karantina terpusat sangat penuh.
Namun kondisi karantina di hotel tak lebih baik. Meski ada ruangan dan memiliki AC, namun Ardi tidak diperbolehkan untuk keluar berjemur. Ia juga tak mendapatkan pengecekan dari tenaga kesehatan. Ardi Pramono bak dalam penjara selama masa karantina sepuluh hari.
Diskresi Karantina hanya Untuk Pejabat?
Ketika banyak rakyat mengalami kesusahan karena karantina, justru ada pengecualian khusus untuk pejabat.
Di peraturan terbaru saat ini, pemerintah memberikan hak pengurangan masa karantina bagi golongan pejabat setingkat eselon I ke atas. Masa karantina yang seharusnya 10 hari—atau 14 hari jika orang tersebut melakukan perjalanan selama kurun waktu tertentu di negara-negara terdampak—bisa turun dengan diskon khusus.
Hak istimewa ini tentu tak tanpa dalih alasan. Aturan menyebutkan alasan mengapa golongan pejabat ini mendapatkan diskon, yaitu karena beban tugas dinas dan implikasi yang muncul jika pejabat tersebut harus mengikuti karantina selama 10 hari penuh. “Semakin tinggi (jabatannya), dampak semakin tinggi ke tugas,” ujar Profesor Wiku Adisasmito selaku jubir satgas Covid 19 di Kompas TV.
Kebijakan ini sepertinya dapat kita anggap cukup baik, dengan catatan jika pejabat tersebut tidak menyalahi masa karantina. Jika memang tidak memiliki tugas yang super mendesak, apa salahnya mengikuti aturan?
Jangan sampai, pejabat negara yang mengemban tugas sebagai role model masyarakat ketahuan menyalahgunakan masa karantina yang sudah mendapat diskon itu, atau malah menolak untuk dikarantina pasca berpergian dari luar negeri, ya! Malu gak tuh kalo ketahuan netizen dan wajahnya tersebar di berbagai platform media sosial? Gak mau kan wajahnya diotak-atik netizen untuk dijadikan meme? Nyatanya, memang ada keluarga anggota DPR yang keluar dalam masa karantina dan bahkan berjalan jalan di mall.
Mafia Dalam Karantina?
Saat menjelaskan adanya aplikasi pemesanan hotel karantina, penjelasan Prof. Wiku langsung mendapat sanggahan Irma Chaniago dan Alvin Lie yang juga hadir dalam forum Kompas TV tersebut. Mereka berdua sama sama tidak tahu adanya aplikasi tersebut. Sementara Ardi Pramono baru mengetahui aplikasi tersebut setelah menjalani masa karantina.
Terkait hotel karantina, Ardi Pramono sempat melakukan eksperimen dengan mengecek secara berkala ketersediaan kamar di hotel hotel karantina. Nyatanya, hampir selalu penuh. Namun dari pengalaman Ardi, ketika mendarat di bandara, selalu ada petugas yang menawari kamar kosong. Mengapa bisa terjadi ketidaksesuaian antara yang tertera di aplikasi dan kenyataan?
Hal inilah yang memancing rakyat berspekulasi adanya mafia karantina. Bahkan sekelas anggota DPRpun tak ragu menyebut bahwa mereka memang ada dan eksis. Sungguh terlalu jika hal ini betulan terjadi ketika kondisi ekonomi masyarakat lemah.
Baca juga :
Ahok dan Haji Lulung adalah Rivalitas Legendaris Indonesia
Kekerasan Seksual Salah Perempuan?