Berbicara tentang maraknya kasus penyiksaan hewan dan satwa, kita semua tahu bahwa kasus seperti ini tergolong baru bagi masyarakat Indonesia, apalagi aparat penegak hukum yang bertugas menangani kasus tersebut. Topik semacam ini nampaknya tak memiliki kesempatan yang fair di mata hukum negara kita. Meskipun kita punya undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan dan perlindungan hewan, tapi realitanya keberadaan kalimat-kalimat hukum tertulis tersebut tak membawa perubahan yang signifikan. Kok bisa?
UU Sudah Bagus, Pelaksanaan Kurang
Di webinar untuk keadilan hewan yang diadakan pada hari Sabtu (11/12) kemarin, Singky Soewardji, selaku pemerhati dan pegiat hak hewan, menyampaikan suatu simpulan terhadap fenomena ini: “UU (tentang perlindungan hewan) sudah bagus, (tapi) pelaksanaan kurang.” Sepertinya sudah menjadi suatu impresi tersendiri bahwa adanya undang-undang tak menjamin pelaksanaan di lapangan dapat berjalan dengan sesuai. Terutama di kasus kekerasan hewan dan satwa, undang-undang hanya sebatas koleksi saja. Banyak laporan terkait mistreatment, kekerasan, penelantaran, dan pemeliharaan hewan dilindungi dibiarkan berlalu bagai angin malam.
Doni Herdaru Tona dari Animal Defender Indonesia mengaku jika memang kasus seperti ini masih terasa awam bagi masyarakat Indonesia dan aparat penegak hukum. Bahkan, tak jarang ia mendapat komentar receh setiap kali melaporkan kasus penelantaran atau kekerasan hewan ke polisi, seperti “Ini korbannya siapa? Kucing jalanan?”, seolah-olah hewan dan satwa tak memiliki tameng hukum di tanah negeri ini. Ironis.
Perlu Sinergi dan Kerja Sama yang Kompak
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi hewan dan satwa yang hidup di Indonesia, kita tak hanya butuh undang-undang untuk mengatur pengurusan kasus. Selain itu, kita juga butuh kekompakan dari semua elemen masyarakat, tak terkecuali para aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa. Percuma saja kita punya aturan, tapi masyarakat tak mau kooperatif. Lebih parah lagi, masyarakat malah bersikap acuh terhadap setiap insiden kekerasan hewan dan satwa yang terjadi. Maka dari itu, edukasi dan sosialisasi tentang undang-undang tentang perlindungan hewan sebaiknya tersosialisasikan ke khalayak umum, agar tak hanya menjadi pajangan dan penambah tumpukan berkas anggota dewan saja. Tapi, apakah itu cukup?
Mencari Akar Permasalahan
Dr. Arief Muliawan menyampaikan bahwa menerbitkan undang-undang dengan hukuman berat takkan mempan untuk ‘menghukum’ para penyiksa hewan dan satwa. Ia berpendapat bahwa semua permasalahan dan kasus yang terjadi, kita perlu mencari tahu akarnya—sumber yang menyebabkan masalah tersebut muncul dan tumbuh di permukaan masyarakat.
Di dalam ranah hukum ada yang namanya keadilan restoratif yang mengacu ke pemulihan kondisi ke keadaan semula. Dengan kata lain, seseorang yang melakukan suatu tindak kejahatan perlu diberikan penyuluhan atau rehabilitasi sebelum dibebaskan kembali ke masyarakat.
Hal yang memicu seseorang melakukan tindak kejahatan perlu kita ubah dan benahi. Jika sekedar menghukum dengan denda atau hukuman penjara, Arief merasa bahwa hal ini tak menjamin apapun, bahkan tak bisa memberi efek jera ke pelaku kejahatan. Sebaiknya, kita perlu bekerja sama untuk meningkatkan tiga elemen krusial, yaitu peningkatan kesejahteraan, pendidikan agama dan akhlak, dan penegakan hukum, untuk bisa meningkatkan jaminan perlindungan hewan dan satwa.
Seperti yang menjadi pendapat ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar, Soepardji, empati manusia ke hewan dan satwa perlu kita perbaiki melalui pembenahan pendidikan.
Urgensi Terbentuknya Komisi Perlindungan Hewan
Seperti yang sudah saya singgung di artikel sebelumnya tentang hak asasi hewan, negara kita memang tak memiliki badan independen dari pemerintah yang secara mandiri menangani kasus kekesaran hewan dan satwa.
Laporan API tahun 2020 silam juga pernah mencolek nama Indonesia karena nihilnya badan penegak khusus hewan. Inilah yang menurut Cindy Kalidjo, selaku perwakilan Koalisi Perlindungan Hewan Indonesia, perlu kita realisasikan, yaitu komisi khusus perlindungan hewan se-Indonesia.
Ia sangat berharap Indonesia mempunyai komisi khusus yang menangani laporan dan kasus kekerasan hewan dan satwa di Indonesia agar kasus semacam ini tak melulu dilimpahkan ke yayasan, yang notabene memiliki kedudukan lebih rendah secara hukum.
Negara kita memang lemah dalam menangani kasus kekerasan hewan dan satwa, tapi bukan berarti kita pasrah dan menolak untuk berbenah. Tak perlu menunggu kasus besar untuk menyeruak ke permukaan. Para anggota dewan perlu mengkaji ulang undang-undang tentang kesejahteraan dan perlindungan hewan secepat mungkin. Kalau perlu, sih, mengundang para penggiat hak asasi hewan di Indonesia untuk membantu merevisi undang-undang. Kenapa, supaya ada peraturan yang relevan dengan keadaan.
Sumber gambar : Sam Carter
Baca juga :
Hak Hewan Itu Apa?
Kekejaman Pada Hewan Yang Tidak Berguna