Baru-baru ini, timeline media berita ramai dengan headline yang memberitakan kasus kerangkeng manusia oleh Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin. Penemuan ini tak ayal membuat jagad media digital dan sosial heboh. Banyak netizen yang dibuat kaget dengan kerangkeng manusia di lingkungan rumah bupati nonaktif tersebut. Gimana enggak, fenomena seorang individu mempunyai kerangkeng manusia sendiri di kediamannya memberikan teror tersendiri bagi masyarakat luas layaknya film horor. Dugaan perbudakan pun mengikuti. BNN menyebutkan jika para penghuni bekerja di kebun sawit pribadi sang bupati namun mereka hanya mendapat jatah makan tanpa adanya upah. Meskipun beberapa penghuni kerangkeng mengaku bahwa hidup mereka biasa saja dan, malah, mendapat perubahan yang lebih baik, kita tak bisa membiarkan fenomena ini lewat begitu saja.
Perbudakan Itu Apa, Sih?
Ngomongin soal perbudakan, ada baiknya kita memahami dulu apa, sih, yang dimaksud dengan perbudakan. Melansir dari Tempo, Konvensi Perbudakan tahun 1926 pasal 1.2 menyebutkan jika perbudakan adalah semua tindakan perolehan, penangkapan, dan pembuangan seseorang untuk menjadi budak. Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO menambahkan jika perbudakan merujuk ke kondisi di mana seseorang berada di bawah tekanan kuasa pihak lain untuk melakukan suatu pekerjaan atau jasa.
Dari dua definisi ini kita paham jika perbudakan adalah bentuk pemaksaan yang mengharuskan seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan jasa tanpa menimbang kesepakatan kedua belah pihak. Perbudakan tak sebatas pada kerja paksa tanpa upah saja, tapi juga melibatkan perdagangan manusia, tenaga kerja terikat, perbudakan berbasis keturunan, perbudakan anak-anak, sampai pernikahan paksa.
Perbudakan Itu Nyata
Jaman sudah canggih dan berkembang tak menjamin semua manusia hidup di Bumi dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan. Nyatanya, kasus perbudakan tak henti-hentinya terjadi dan di Indonesia sendiri kasus ini masih ramai terjadi. Sebagai contoh perbudakan ABK Indonesia di kapal asing. Masih ingat di memori saya kasus perbudakan ABK di kapal Cina yang berhasil stasiun TV Korea Selatan, MBC, tangkap pada Mei 2020 silam. Lingkungan kerja yang buruk, eksploitasi jam kerja, dan diskriminasi perilaku untuk pekerja Cina dan non-Cina semakin menambah kesengsaraan para ABK.
Atau kasus penyekapan 25 buruh pabrik panci oleh sang pemilik selama tiga bulan di Tangerang, Banten pada tahun 2013 lalu. Pekerja buruh tersebut bekerja dari pukul 6 pagi sampai tengah malam. Mereka tak mendapat tempat tidur yang layak dan kamar mandi yang bersih. Ditambah, mereka tak dikantongi upah. Perlakuan tak manusiawi ini terungkap berkat dua pekerja yang berhasil melarikan diri dan melapor ke pihak berwajib.
Kok Mau Kerja Gituan?
Kalau boleh jujur sih, siapa juga yang mau kerja tak ingat waktu seperti dua kasus di atas? Setiap manusia pasti ingin memiliki waktu kerja yang manusiawi, yang memberikan kebebasan bagi mereka untuk isitirahat. Semua ingin mendapatkan hak dan upahnya setelah bekerja keras dan bukannya terkekang dalam ikatan perbudakan dan eksploitasi. Tapi terkadang, tak semua manusia punyak kesempatan yang merata. Banyak saudara kita yang terhimpit oleh berbagai macam alasan hingga akhirnya memilih untuk menyerahkan diri mereka dalam belenggu perbudakan. Mereka yang hanya ingin memperbaiki keadaan perekonomian keluarga harus rela berkorban bekerja lebih dari jam kerja normal untuk selembar uang atau secuil nasi.
Sebaliknya, mereka yang berada di tahta kuasa atas merasa punya kuasa penuh untuk mengendalikan para pekerja. Jam kerja yang bisa lebih dari 12 jam, jatah makan yang minim, lingkungan kerja yang buruk, tekanan kerja lebih… Semua mereka lontarkan demi menghemat pengeluaran dan biaya produksi. Sisi kemanusiaan tak lagi berlaku bagi mereka; yang ada hanyalah bagaimana mendapatkan SDM sebanyak dan semurah mungkin.
Perbudakan masih menjadi PR besar kita semua tak terbatas dari negara mana kita berasal. Tak ada alasan yang bisa kita terima untuk seseorang mengeksploitasi hak asasi manusia dengan cara seperti ini. Jika ini terus terjadi, trus di mana letak nilai manusia sebagai makhluk berakal?
Baca juga:
Di Mana Letak HAM Bagi Para Pengungsi?