Hari ini, pada tahun 2003, Gubernur Illinois, George Ryan memutuskan memberi keringanan pada 167 terpidana mati paska skandal Jon Burges. Jon Burges, seorang komandan kepolisian, terbukti menginstruksikan anak buahnya untuk melakukan prosedur ‘penyiksaan oleh aparat’ agar para tersangka mengakui kesalahannya. Fenomena di Amerika Serikat ini ternyata bukan fenomena asing karena di Indonesiapun terjadi hal yang sama.
Di Indonesia, fenomena penyiksaan oleh aparat pada tahanan terus terjadi. Padahal, berdasarkan penelitian dari Komang Dara Tri Marliana dan rekan rekannya dalam karya berjudul “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Pemeriksaan Dalam Proses Penyidikan”, aturan untuk melindungi hak hak dari tersangka/ terdakwa sudah ada dan menjadi pembahasan dalam pasal 50-68 dan 196 Kitab Undang Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP).
Selain dalam KUHAP, masalah perlindungan hak asasi manusia ini juga menjadi pembahasan dalam pasal 14 ayat 1 UU no.2 tahun 2002 tentang kepolisian. Dalam undang undang itu, terdapat penjelasan bahwa kepolisian harus menjunjung tinggi HAM dalam melaksanakan tugas tugasnya.
Lalu kenapa masih ada banyak kasus penyiksaan oleh aparat meski sudah ada instrumen hukum yang jelas? Sebagian besarnya kasus itu bahkan dilakukan oleh kepolisian.
Berbagai Alasan
Pada bulan Juni 2021, Kontras menyampaikan temuan tahunannya mengenai kasus penyiksaan oleh aparat terutamanya kepolisian. Mereka menemukan bahwa banyak alasan digunakan pihak aparat. Alasan itu di antaranya adalah karena dalih pengamanan kerusuhan. Hal ini terjadi di beberapa demo di ibu kota dan kota kota besar Indonesia. Kemudian, penyiksaan juga merupakan bagian dari penyelidikan kasus kasus kriminal besar di Indonesia yang bukti pidananya tak jua menemukan titik terang. Alasan lain adalah penyiksaan umumnya digunakan pada pemberontak daerah yang tertangkap. Lagi lagi alasannya adalah karena rasa khawatir dan frustasi akan resiko terburuk jika proses penyelidikan berlarut larut.
Definisi Penyiksaan
Namun apakah alasan itu dapat kita benarkan? kembali merujuk pada undang undang yang berlaku, sebenarnya batas antara penyiksaan dan tidak itu abu abu. Hal inilah yang sering menjadi dalih mengapa penyiksaan terus terjadi. Undang undang hanya sebatas mengatur mengenai menjunjung tinggi HAM dan hak hak yang menjadi milik tersangka/terdakwa. Namun untuk kejelasan apa yang boleh aparat lakukan atau tidak itu berada dalam area abu abu.
Memang ada instruksi di Indonesia untuk mengikuti aturan di ICCPR (International Covenant on Civil Political Rights) terutama pasal 7 yang mengatur sikap sikap yang tidak boleh merendahkan harkat dan martabat manusia. Namun, instruksi ini belum secara resmi tertuang dalam hukum positif di Indonesia. Kenyataannya, di Indonesia belum ada aturan tegas bagaimana aparat yang melakukan penyiksaan/ kekerasan tak perlu dapat masuk ke pengadilan. Sejauh ini penegakkan baru sebatas terjadi di komisi etik saja.
Wajah Buruk Penyiksaan Oleh Aparat Dalam Keadilan
Dalam konteks keadilan, ada beberapa kasus salah tangkap yang terjadi karena proses interograsi tidak fair dan berada dalam bayang bayang kekerasan. Misalnya saja adalah kasus Dicky Maulana di tahun 2013. Empat pengamen ditangkap begitu saja dan dipaksa mengaku. Banyak penyiksaan yang mereka alami dan baru beberapa waktu kemudian terungkap siapa pelaku sebenarnya yang mengaku dan menyerahkan diri.
Kemudian pada 25 September 2014, seorang tukang ojek bernama Dedi mendapat tuduhan melakukan pengeroyokan masal. Ia ditahan dan tidak bisa memberi nafkah pada keluarganya hingga anaknya meninggal karena malnutrisi. Mereka semua terpaksa mengaku karena mendapat ancaman kekerasan dan jika tidak mengaku mereka terus mendapat siksaan oleh aparat. Miris!
Lalu, pada tahun lalu saja, Komnas HAM melaporkan ada 741 kasus aduan kekerasan oleh aparat ke mereka. Ini belum termasuk kasus kasus yang tidak terlaporkan.
Senada dengan Komnas HAM, Kontras juga melaporkan berbagai laporan penyiksaan yang jumlah hampir mendekati ratusan. Praktek praktek ini secara sekilas masih marak terjadi.
Belajar
Tidak ada hari yang baik selain hari ini untuk mengingatkan kembali pentingnya menyelesaikan masalah penyiksaan oleh aparat ini. Kasus Jon Burges mengingatkan kita bahwa aparat juga manusia yang bisa melakukan kesalahan dan harus mendapat perlakuan yang sama atas perbuatan kriminal mereka pada manusia lainnya. Jon akhirnya mendekam di penjara selama empat tahun dan kasusnya menjadi peringatan agar aparat di Amerika Serikat tidak bertindak semena mena.
Di Indonesia perlu ada perubahan menyeluruh ke depannya. Harus ada hukum positif serta definisi yang jelas mengenai apa apa saja yang tidak boleh aparat lakukan dalam penyelidikan dan penyidikan. Lalu, harus ada bukti yang jelas bahwa aparat penegak hukum memiliki kondisi mental yang baik dan mampu bekerja di bawah tekanan tanpa bertindak sewenang wenang. Kita berharap perubahan segera terjadi. Semoga!
Gambar oleh : Scott Rudgerson
Baca juga :
Main Hakim Sendiri dan Trust Issue Masyarakat Soal Hukum dan Aparat
#Percumalaporpolisi Jangan Jadi Bahan Candaan, Tapi Merubahnya Sulit