Siapa, nih, dari pembaca pakbob.id yang suka nonton film? Pasti rata-rata hobi nonton film ya, entah itu film barat, Indonesia, Korea Selatan, Cina, Thailand, atau film negara lainnya. Terutama film atau drama dari Korea Selatan, nih, pasti gak pernah sepi dari penonton. Salah satunya yaitu drama di Netflix yang baru tamat berjudul All of Us are Dead. Saya sendiri cukup telat untuk ikutan hype drama yang satu ini. Bertemakan zombie, All of Us are Dead menceritakan bagaimana virus mematikan yang mempunyai ciri-ciri gejala seperti zombie menyebar dari salah satu sekolah di kota di Korea Selatan. Tema ini memang hampir mirip dengan film yang perman Gong Yoo mainkan yaitu Train to Busan dan salah satu pemainnya bernama Lee Cheong San memang mengakui, hehe.
Oke, balik ke pembahasan, nih, dari pengalaman menonton (baru dua episode) drama All of Us are Dead, saya menemukan satu hal yang sama setiap kali saya menonton film genre lain, terutama film horor. Satu hal inilah yang menurut saya berperan cukup krusial dalam memberi alasan kenapa suatu cerita wajib diangkat menjadi karya film atau drama series. Dan satu hal itu tak lain dan tak bukan adalah rasa penasaran atau kepo. Yup, rasa kepo dari seorang tokoh di film atau drama sendiri bukan cuma bentuk penasaran yang bodoh kalau para penonton sering lontarkan jika menonton film. Rasa kepolah yang justru membuat semua keributan di cerita itu datang dan ada untuk para penonton.
Kepo Itu Lebih dari Pemanis Belaka
Seperti yang saya singgung, rasa kepo seorang tokoh cerita dapat memercikkan plot cerita yang menjadi fokus utama film atau drama. Suatu karya seni film sebenarnya sudah punya cerita inti sendiri yang sang penulis susun. Tapi, cerita inti ini takkan bisa berkembang menjadi kumpulan plot cerita yang rumit nan menarik tanpa adanya rasa kepo dari si tokoh. Inilah yang kemudian membuka peluang untuk cerita inti berkembang.
Di All of Us are Dead, cerita menyebarnya virus menyebar setelah seorang tokoh siswa perempuan Hyeon Joo kabur dari laboratorium. Bukan tanpa alasan, ia mengira sang guru IPA ingin membunuhnya, padahal sang guru mencoba membantu meredakan gejala ia rasakan. Jika kita menarik benang lebih jauh, kita akan sadar kalo semua ini berakar dari rasa penasaran Hyeon Joo. Ia mendatangi sumber suara dan menemukan seekor tikus yang dikurung di dalam boks kaca, yang mengakibatkan tikus itu menggigit jarinya dan menularkan virus.
Gimana Kalo Gak Ada yang Kepo?
Rasa kepo yang Hyeon Joo punya sebenarnya unsur klasik di hampir semua film yang kita tonton. Keingintahuan yang cukup besar terhadap sesuatu yang belum pasti mengarah ke skenario yang tak terduga. Tapi gimana kalo rasa kepo ini hilang? Apa yang akan terjadi jika semua tokoh film atau drama tak memiliki rasa penasaran? Apakah ceritanya masih cukup menarik untuk diikuti?
Well, kita bisa menebaknya secara kasar soal ini. Akibat yang bisa timbul dari rasa kepo bisa berujung ke dua kemungkinan berbeda. Pertama, cerita tetap berjalan dengan semestinya atau, kedua, berbelok ke tikungan plot cerita yang tajam. Untuk efek yang pertama, rasa kepo yang si tokoh miliki bisa jadi bukan mengarah ke suatu hal yang riskan. Sebaliknya, jika rasa kepo itu tertuju ke hal yang jelas memiliki resiko tinggi atau berbahaya, seperti di kasus Hyeon Joo, maka akan jadi parah. Wabah virus di All of Us are Dead mungkin ga bakal terjadi jika Hyeon Joo gak kepo dan pergi ke ruang lab.
Rasa kepo sendiri bukanlah hal buruk sebenarnya. Rasa penasaran inilah yang menjadi pemanis di suatu karya film atau drama dan, jelas, kehidupan manusia sendiri.
Baca juga:
Boundaries, Sebuah Trik Selamat Dari Kekepoan Duniawi
Menonton Night of the Living Dead (Dan Belajar Darinya)