“Keadilan sosial bagi kaum good looking”
Itulah ungkapan yang seringkali muncul ketika kita lagi ngobrolin soal paras seseorang. Hal ini identik dengan orang yang memiliki wajah rupawan yang dengan mudah menjalani hidupnya. Dalam banyak hal tentunya. Bisa di dunia pertemanan, sekolah, atau bahkan pekerjaan. Tapi, apakah good looking cuma soal cantik atau ganteng? Masih bisakah jadi tolok ukur?
Definisi Good Looking
Jika kita terjemahkan, good looking berarti enak dipandang. Biasanya sebutan ini tersemat dengan rapi buat orang-orang yang cantik atau ganteng dan memiliki fisik yang bagus buat kita lihat. Tapi menurutku, soal apakah seseorang enak buat kita padang itu subyektif ya. Nggak ada standar pakem mau secantik apa atau seganteng apa orang itu biar bisa masuk kategori yang satu ini.
Dijadikan Limitasi
Pernah nggak kalian pas lagi cari-cari pekerjaan menemukan kriteria “berpenampilan menarik”? Pastinya pernah ya. Terus apa yang ada di benak kalian waktu itu? Masih optimis buat daftar atau milih mundur? Waktu itu aku menemukan kriteria tersebut di salah satu lowongan pekerjaan. Seketika terlintas di pikiranku, standar cantik seperti apa yang mereka harapkan. Yang kadang justru bikin insecure duluan. Spekulasi-spekulasi mulai bermunculan. Jangan-jangan yang mereka cari yang memiliki badan tinggi, langsing, berkulit putih, rambut panjang, dan wajah yang mulus. Pikirku, ini mau cari pegawai apa selebgram ya?
Tapi memang, beberapa tempat kerja atau perusahaan menetapkan kualifikasi yang bermacam-macam salah satunya good looking. Label ini tidak hanya soal cantik atau ganteng. Tapi bisa berarti juga berpenampilan menarik. Maksudnya gimana? Ya, berpakaian rapi, bersih, dan secara umum enak dilihat. Kriteria good looking disesuaikan juga dengan kebutuhan perusahaan. Kalau ingin melamar sebagai SPG ya setidaknya memiliki roman yang cantik dan punya body goals. Begitu pula perusahaan-perusahaan lain yang standarnya nggak bisa kita samaratakan.
Terkesan Diskriminatif
Bagi sebagian orang, penggunaan ukuran good looking mengimpresikan sebuah bentuk diskriminasi. Bagaimana tidak, kaum good looking cenderung mendapat perhatian khusus dan lebih diutamakan. Bahkan, peluang pekerjaan menerima mereka pun juga lebih besar.
Tak hanya itu, buat kamu yang masih kuliah, pernahkah kalian merasakan hal yang sama di kampus? Saat skripsian dosen lebih memberikan treatment khusus buat mahasiswa yang tergolong good looking. Seperti saat berkomunikasi lewat chat jadi fast respon, gampang membuat janjian ketemu, atau bahkan langsung mendapatkan acc. Dan lagi, ada juga dosen yang dengan mudahnya memberikan nilai yang bagus buat mereka yang berpenampilan menarik. Seakan-akan kuliah pake jalur bebas. Lancar banget kan jadinya.
Skill Bakal Kalah Sama Look
Suatu ketika, ada salah satu temanku cerita padaku. Ia mulai flashback masa-masa kuliah. Ia menceritakan kemampuannya yang cukup handal di bidang voli. Bahkan ia termasuk yang paling baik di antara teman-temannya. Tapi anehnya, malah ia mendapat nilai jelek. Justru yang skill-nya biasa-biasa aja dapat nilai bagus. Ya mungkin karena permasalahan paras itu tadi. Sontak, ia dan teman-temannya protes dan alhasil nilainya pun berubah.
Nah, bener kan, skill seseorang bakal kalah sama yang namanya look. Nggak cuma di dunia kampus, tapi juga terjadi di dunia kerja. Tidak sedikit kaum good looking yang lebih diprioritaskan daripada yang punya kemampuan. Dengan alasan biar perusahaan punya daya tarik tersendiri buat para pelanggan atau klien mereka.
Jadi insecure? Ya, wajar. Tapi jangan jadikan good looking sebagai tolok banding ya. Cantik atau ganteng itu relatif. Bikin standar good looking versi kamu sendiri aja dan selalu upgrade skill. Pernah mengalami? Coba tulis di kolom komentar.
Foto oleh Moose Photos dari Pexels
Baca juga:
Thin Privilege: Hak Istimewa si Kurus
Waspadai Beauty Shaming, Bercandaanmu Nggak Lucu!